Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

Untuk yang Telah Berkalang Tanah

Kepulan asapmu menjejali seisi ruangan ini, lihai jari-jarimu menari menyaksikan duli melayang ke sana sini. Memasuki matamu yang merindukan tidur di malam hari, yang kini berubah menjadi apa pun tentang sepi. Dengan hati-hati kau mengikat hati, rapuh tali-temali mengajakmu kembali menangisi memori. Bau Wiski tak lagi mengingatkanmu pada hari di mana kau menyalakan api dan bernyanyi, melupakan perkara hidup dan mati, menyaksikan manusia memilih pergi dan tak pernah kembali. Di meja jati kau meninggalkan sepuntung, tidak untuk dinikmati tapi mengenang dia yang tak di sini.  Di tempatmu duduk berbagi barang seteguk, kau mendapati luka-luka yang terus terpupuk. Ada penyesalan yang enggan menunduk, atas kejadian yang tak kau inginkan lantas kau mengutuk. Yang kau ingat hanyalah hari panas di kota tua, dua manusia sedang tertawa mengabaikan luka. Bercengkrama melepas lara, bau menyengat di mana-mana, kau mendapati pundak untuk tertidur lebih lama, dan sepasang telinga untu...

Guru Itu Bernama Kehidupan

Kepada diri Hidup adalah musim-musim hujan dan kau si anak kecil telanjang kedinginan yang mencari kehangatan di sela-sela perapian. Kau tak tau jika api yang kau kira guru dari segala paham tentang keberanian, bisa menjadi sangat mematikan dengan kobaran menakutkan. Kau tak pernah tau jika sesuatu yang terang-benderang bisa mengantarkan pada luka-luka di sekujur badan. Hidup adalah peta tak bergambar yang memaksamu membaca sedang kau buta aksara, jalan-jalan panjang yang kau jelajah tanpa tau arah memintamu terus mengabaikan rasa lelah, di lain waktu kau kehausan meminta seteguk air si pengelana besar kepala. Kau kehausan di tengah-tengah Sahara, kau kelaparan di lembah tak bernama. Fatagormana tertawa lega setelah membawa asa yang kau kira nyata. Tersesat pun kau tak bisa duga bahkan tujuanmu belum terbaca. Mata angin tak bersuara saat kau tanya di mana barat dan utara. Semuanya diam tanpa bahasa. Hidup adalah aliran sungai di pedalaman sedang kau si pedulang tak bertan...

Sosok Hitam Gelap

Jika seseorang menyentilku tentang Ayah, yang kuingat.... Adalah sosok hitam gelap tak berbayang, yang kukenal sebagai pemilik secuil kasih sayang, tempat-tempatku belajar tentang penantian panjang. Di dalam dirinya, aku mengerti bahwa kepergian seseorang tak selalu berujung pada kepulangan. Sosok yang kurindukan saat gelap datang, kala nyanyianku terbang ke langit malam. Bahkan bintang kehabisan alasan untuk membuatku tenang, bulan pun hilang di balik awan, takut kutodong ratusan bahkan ribuan pertanyaan. Lagu bahagia jangkrik di dahan, berganti menjadi melodi kelam. Hujan turun dipenuhi penyesalan, sebab di pipiku ada yang ikut berjatuhan. Di manakah dia, Tuhan? Semuanya diam, kutanya pada si buta bahkan dia lebih dusta dari si bisu di sana. Kutanya pada si tuli, katanya aku terlalu peduli. Salahkah jika aku ingin kebenaran? Jangan! Jangan sekali-kali kau tanamkan kebencian pada anak yang bahkan, mengingat namanya saja ia kesusahan.  Bertahun-tahun aku hidup penuh ...

Mata Ibumu

Di sana bintang-bintang langit malam berjatuhan Kerlipnya bagai candu selalu membuatmu tak ingin berjauhan Tak ingin kau lepas pandang setiap detik, menit, jam, bahkan sebelum ingatan mengajarkanmu melupakan Di sana tergantung harapan yang terapalkan siang malam pada Tuhan agar kelak kau bisa membanggakan Di sana terdapat mata air air mata yang sewaktu-waktu dapat mengalir deras kala merindukanmu yang terkadang lupa akan pulang Mata yang selama ini menyaksikanmu menangis di penghujung hari Meminta belas kasih yang bahkan ayahmu lupa 'tuk ajari Mata yang mengawasimu sambil bersenandung ke langit tinggi kala kau terlelap masuk ke alam mimpi Mimpi yang ia titipkan padamu agar kelak tercapai sebelum kau ingat pulang dan kembali Mata yang melihatmu sebagai anak yang tak pernah besar, dulu, kini, dan nanti Ia rindu akan hadirmu Kau bahkan lupa kapan terakhir kali membuatnya menangis—menangis karena bahagia olehmu Terima kasih Sudan mampir! Love, Octa❤

Tempat Berpulang

Keluarga—bagaimanapun kau menyebut mereka Adalah tempatmu pulang setelah seharian bermain dan berlarian Adalah tempatmu mengadu saat kau menangis kesakitan Adalah tempatmu bercerita kala kau merasa dunia tak adil memberimu ujian Adalah tempatmu mengumpulkan tawa ketika bahagia datang berkejaran Adalah tempatmu tumbuh besar dan merasakan kasih sayang yang sehebat apa pun sulit kauberi balasan Adalah rumah yang senyaman apa pun persinggahanmu di luar sana tak bisa ada yang menggantikan Adalah harta terbesar yang kemana pun kau berkelana tak akan pernah kau mudah dapatkan Tempat yang kau bangun di antara mereka, adalah tempat yang haus akan sosokmu. Tiap-tiap dindingnya berisi teriakan-teriakan yang setiap malam merindukan dengkuranmu. Ruangannya berisi harummu tak lekang waktu, yang diam-diam mengendap di dadamu. Jendelanya kumuh menandakan semakin berganti tahun, semakin berkurang pula kehadirmu. Perapiannya mati tak tersentuh, menggigil menunggu hangatnya desir darahmu. P...

Ketika Cerita Bercerita

Alam adalah cerita tentangmu Seperti langit biru dan awan membentang. Kau diceritakan sebagai seorang pejuang yang berangan akan menang mengalahkan sang kehidupan. Namun yang kudengar, kau kehilangan harapan bahkan sebelum berperang. Gulungan awan menyaksikan patahan pedang yang terlempar jauh ke sisi pegunungan, kemudian ikut kau tanam dengan kesedihan, menghilang. Seperti burung yang terbang riang. Kau diceritakan sebagai pemilik suara merdu oleh seisi hutan, tapi yang kusaksikan kaulah si pemilik kantong-kantong kebohongan, terbang jauh melintasi pepohonan dengan nyanyian malang, kau berusaha terlihat senang sedang jauh di dalam, batinmu tak tenang. Parau suaramu menggema di rongga goa tua, menyanyikan betapa tidak adilnya kehidupan dengan menganggapmu terbang karena kau bebas. Yang benar adalah kau terbang karena kau harus tetap terbang. Patah-patah kepakan sayapmu lemah meminta belas kasihan Tuhan agar kau segera dituntun pulang. Seperti danau yang arusnya tenang. K...

Rak Usang

Ada sebuah rak usang Deritnya mengalahkan sayap jangkrik bergoyang Bersandar di bawah naungan lampu remang Di sekelilingnya cahaya seredup kunang-kunang Tiap-tiap raknya berisi toples harapan yang kususun setiap malam jelang Tumpukan tulisan tangan dari setiap angan yang kujaga dari rayap agar tak sobek, hilang, bernasip malang Di sana tersimpan semua keluh-kesah kala hati kecil ini meminta pada semesta agar dipersatukan dengan Tuan pemilik segala kerinduan Berharap suatu hari sakit tulang tangan menulis siang malam akan terganti dengan kenyataan Mulai dari kisah malu-malu saat mendambakan Tuan sebening air danau bersanding denganku yang keruh bagai genangan air abu Dan ketika berharap akan menghabiskan sisa waktu dengan pria gagah di singga sana, sedang aku hanya tumpukan debu Lalu saat pipiku berubah menjadi merah jambu ketika membayangkan Tuan berbaju biru datang mencium keningku di depan istana dan aku sebagai Ratu Saat dia menyanyikanku lagu sendu di taman bun...

Kamu dalam Secangkir Teh

Secangkir teh seduhanmu yang kita minum ketika jendela menangis oleh langit sendu Teh hangat yang rasanya menjadi endapan di setiap tulang-belulangku Manisnya khas yang beberapa waktu terakhir tumbuh menjadi rindu Pekatnya membuat jera, tetapi ada keinginan menambah yang belakangan bagai rasa candu Aku tahu selain teh, air dan gula— Ada rasa yang lain hanya kutemukan di sana Dalam sekali tegukan lidah langsung menyesap cinta Cinta tulus yang rasanya berlomba-lomba memenangkan pujian ikhlas dari bibir setelah merasa Cinta yang menemaniku melewati denting hujan beserta amarah langit tak lupa deru angin menusuk jiwa Cinta yang mengajarkanku bahwa secangkir teh ternyata bisa menjadi alasan di balik senyum kita berdua Cinta yang akan menemaniku sekarang hingga nanti di hari tua Cinta yang kau masukkan, sungguh ... tak kutemukan di teh mana pun juga Teh itu, bangaimanapun jika ia berasal dari tanganmu Berisi pujian tentangku yang semanis madu Berisi kata-katamu yang k...

Macramé

Aku dan dia mengikatnya bersamaan Aku mengeratkan dia melonggarkan Aku mengikat secara silang dia memilih menghilang sebelum simpul utuh di tangan ••• Aku menemukannya tergantung di kamar, di depan dinding putih tulang. Selain simpulnya yang rumit, ada kenangan yang menggenang di setiap ikatan temalinya. Menyerap masuk melalui celah-celah benang yang semakin dilihat dekat semakin kasar. Dia mungkin masih ada di sana, hanya saja perasaan saat menyentuhnya menjadi beda. Bagai pencuri andal, ia menang walau diam, menertawakanku yang bimbang, merendahkanku yang masih terkatung-katung di dalam kenangan lampau. Membangunkanku di sepertiga malam dan mencuri alasan agar aku bisa terlelap kembali, hingga pagi mengantarkanku pada penyesalan terulang. Sudah kucoba membuang penyangganya, tapi ia kembali bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Kubakar habis untaiannya, malah tanganku yang terbakar habis. Dia kuat ... sangat kuat. Soal menyelesaikan ikatan sendirian dan menggantungnya pe...

Kita

Terlalu akrab untuk sebuah kita Biarlah ini menjadi saya dan Anda Lebih baik asing dari pada saling kenal tanpa bicara Bahkan bersebelahan Anda mati gaya Dan saya pun tak berdaya untuk mengucap sepatah kata Sadarkah Anda, kita hanyalah sebuah sebutan untuk perbedaan Anda suka menjaga berat badan Sedang saya suka makan tanpa beban Anda suka makan di restoran Dan saya lebih nyaman di pinggir jalan Anda suka membuat menunggu tanpa kepastian Dan saya rela menunggu tanpa memastikan Anda suka membuat janji untuk diingkar kemudian Dan saya yang mudah termakan janji yang tak lain berupa angan Anda dengan kepalan ringan tangan Dan saya pasrah hingga lebam di lengan Anda yang mudah menebar harapan Dan saya senang terbawa perasaan Anda yang datang membawa cinta di tangan Dan saya yang percaya bahwa itu bukan rayuan Anda suka kebahagiaan Dan saya yang dengan tangis berkepanjangan Anda yang memalsukan kesetiaan Lalu saya yang memberi kepercayaan Anda dan saya tak leb...

Sederhana

Sederhana Aku ingin mencintaimu dengan cara sederhana Sesederhana sapaan senja pada bumi ketika jelang malam Sesederhana rintik hujan yang membasahi alam Sesederhana lilin yang rela melebur demi menembus temaram Sesederhana tulisan usang di atas kalam Sesederhana suara ombak yang bising lalu redam Sesederhana rajutan yang di anyam Sesederhana cangkir kopi yang duduk di atas talam Sesederhana canting yang berisi malam Sesederhana tabuhan genderang orang awam Sesederhana sapaan angin sebelum api padam Aku tak ingin mempersulit Tinggalkan jika sederhanaku rumit Cukup rasa ini diam dalam sakit Puisi dibacakan oleh  Putri Ricis Terimakasih sudah mampir. Love, Octa.

Takut

Sebuah puisi tanpa huruf "E" Aku takut pada dunia Dunia gulita tanpa cahaya Hambar tanpa arah yang nyata Bagai langkah di atas anak panah Hilang dalam diamnya rasa Aku takut akan hidup Bahagia hanya angan Tangis adalah kawan Luka akan jadi bindam Tawa tak ikut campur tangan Sungguh ironis Diambang angan maruk Mati takut hidup pun akan kalut Terimakasih sudah mampir ❤ Love, Octa.