Kepada diri
Hidup adalah musim-musim hujan dan kau si anak kecil telanjang kedinginan yang mencari kehangatan di sela-sela perapian. Kau tak tau jika api yang kau kira guru dari segala paham tentang keberanian, bisa menjadi sangat mematikan dengan kobaran menakutkan. Kau tak pernah tau jika sesuatu yang terang-benderang bisa mengantarkan pada luka-luka di sekujur badan.
Hidup adalah peta tak bergambar yang memaksamu membaca sedang kau buta aksara, jalan-jalan panjang yang kau jelajah tanpa tau arah memintamu terus mengabaikan rasa lelah, di lain waktu kau kehausan meminta seteguk air si pengelana besar kepala. Kau kehausan di tengah-tengah Sahara, kau kelaparan di lembah tak bernama. Fatagormana tertawa lega setelah membawa asa yang kau kira nyata. Tersesat pun kau tak bisa duga bahkan tujuanmu belum terbaca. Mata angin tak bersuara saat kau tanya di mana barat dan utara. Semuanya diam tanpa bahasa.
Hidup adalah aliran sungai di pedalaman sedang kau si pedulang tak bertangan. Tuntutan tertulang membuatmu terpaksa mengais logam di arus membalam. "Bagaimana caranya?" tanyamu pada alam yang semakin kau pandang semakin kejam. Dia diam. Air matamu berlinang sembari gadang kau jepit di kaki sebagai penahan. Kemudian, bukan intan atau logam yang kau dapatkan, melainkan kotoran. Kau serasa ditampar berjuta tangan, sekejam inikah dia, Tuhan? Apa yang telah berhasil kau ajarkan, Tuhan? "Kau akan menemukan jawaban," kata-Nya.
Guru-guru itu bernama kehidupan, katanya memperkenalkan.
Si kecil tumbuh, kau menyadari bahwa hujan jatuh untuk mengajarkan agar selalu bersyukur pada alam dan nikmat Tuhan. Perapian mengajarimu untuk tidak gegabah mencari pertolongan, tidak selamanya apa yang kau butuhkan bisa berakhir seperti apa yang kau harapkan. Api memang hangat saat kau butuh, tapi lain cerita saat api membakar habis seluruh badanmu. Api bisa menjadi lambang keberanian, tapi jangan lupa kalau api juga selalu berkawan baik dengan ketakutan.
Peta tak bergambar mengajarimu bahwa jalan yang kau tuju tak selalu mengantarkan pada kebahagiaan, ada kalanya kau tersesat di tengah-tengah hutan sebelum menemukan jalan yang akan menuntunmu pulang. Jalan panjang tak kenal lelah mengajari untuk tak pernah putus asa sebelum angan berhasil kau genggam di tangan. Si pengelana ternyata menyelipkan pesan bahwa tak semua manusia berbesar hati lagi pandai berbagi. Lalu ada fatamorgana yang mencoba memperingati bahwa apa yang ada di depan mata, tak selamanya bisa kau anggap nyata. Mata angin diam seribu bahasa mengajarimu untuk tak percaya siapa saja kecuali hatimu dan dirimu. Ada banyak arah dan tak semuanya bisa kau telaah, jalanmu sudah terbentang, tugasmu adalah mengumpulkan keberanian untuk mulai melangkah ke depan.
Aliran sungai dan pedulang tak bertangan mengajarkan bahwa hidup tak selalu tentang senang dan tenang. Kau butuh berjuang untuk mendapatkan apa yang kau impikan, tak peduli kedua tanganmu hilang, kaki-kakimu letih berjalan, mimpimu haruslah kenyataan. Dan bukan segampang perihal membalikkan telapak tangan, ada proses yang akan dihadapkan. Ada pahit manis kehidupan, ada pengorbanan, ada cibiran dari orang-orang, sebelum kau bisa tersenyum menang. Logam-logam pun melalui proses panjang, dari jerih payah si pedulang berpanas-panasan, sampai ke tangan-tangan para bangsawan.
Guru-guru itu bernama kehidupan, katanya menutup perkenalan.
Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa ❤
Komentar
Posting Komentar