Kepulan asapmu menjejali seisi ruangan ini, lihai jari-jarimu menari menyaksikan duli melayang ke sana sini. Memasuki matamu yang merindukan tidur di malam hari, yang kini berubah menjadi apa pun tentang sepi. Dengan hati-hati kau mengikat hati, rapuh tali-temali mengajakmu kembali menangisi memori.
Bau Wiski tak lagi mengingatkanmu pada hari di mana kau menyalakan api dan bernyanyi, melupakan perkara hidup dan mati, menyaksikan manusia memilih pergi dan tak pernah kembali. Di meja jati kau meninggalkan sepuntung, tidak untuk dinikmati tapi mengenang dia yang tak di sini.
Di tempatmu duduk berbagi barang seteguk, kau mendapati luka-luka yang terus terpupuk. Ada penyesalan yang enggan menunduk, atas kejadian yang tak kau inginkan lantas kau mengutuk.
Yang kau ingat hanyalah hari panas di kota tua, dua manusia sedang tertawa mengabaikan luka. Bercengkrama melepas lara, bau menyengat di mana-mana, kau mendapati pundak untuk tertidur lebih lama, dan sepasang telinga untuk menampung segala cerita. Namun, salah satunya lebih dulu menutup mata. Bagaimana kau bertemu dan memilih bersama, tapi kau tau ada yang lebih mencintainya.
"Untuk teman kita."
Gelas itu terangkat setinggi-tingginya, menembus udara. Malaikat menyaksikan dua karib sedang menebus nestapa.
•••
Terima kasih sudah membaca
Love, Octa! ❤
Foto oleh; Lena Dirksen
Komentar
Posting Komentar