Langsung ke konten utama

It's Getting Late








"Sudah larut, kau mungkin ingin pulang."

Api rokok itu ia matikan setelah aku bertanya, meneguk habis sisa wiski di gelas yang tersisa, kemudian beranjak dan meraih pemantik di atas meja.

Kayu itu ia nyalakan, ruangan sempit ini semakin hangat dan menyedihkan, dengan warna api nyalang di sisi-sisi dinding berwarna putih tulang. Lalu Ia kembali duduk di depanku, membelakangi perapian, terlihat gelisah dan aku yang ingin sekali bertanya, seharusnya ia sudah pulang.

"Malam ini aku akan menginap."

Aku berdiri mengambil sebuah piringan hitam, memutarnya dengan suara pelan. Lagu itu berlarian di atas lantai, meredam hujan, beriringan dengan ketukan kakinya, matanya ia pejamkan.

"Kucing-kucingmu, mereka menunggumu di rumah. Mereka mungkin sedang bersembunyi, di luar hujan turun deras sekali, mereka takut hujan, 'kan?"

"Di sini ada kucing besar yang lebih penakut."

Aku mengiriminya pesan tepat saat langit mulai terlihat murung, dan angin mulai mengetuk jendelaku secara paksa. Ia tiba tidak terlalu lama sebelum hujan benar-benar ada di sini. 

Waktu berlalu begitu saja, sementara kita hanya duduk di sela-sela keheningan, ia dengan beberapa wiski dan aku dengan semua kegelisahan di segala sisi. 

Seperti dua orang asing yang terjebak hujan, kita juga terjebak di dalam kekosongan.

"Aku memikirkan tentang hal-hal yang akan berakhir," kataku dengan suara kecil, lebih kecil dari musik yang menggantung di mana-mana, lebih kecil dari hujan di luar rumah, tapi tidak terlalu kecil untuk sepasang telinga di sana.

Masih belum mendengar menjawab, aku melanjutkan kalimatku, "dunia, hubungan antar manusia, cinta, atau mungkin ... kita." 

"Semua isi botol ini telah melewati tenggorokanku," katanya sambil mengangkat botol wiski itu dihadapanku, "tapi malah kau yang berbicara seperti orang mabuk," sambungnya.

"Hantu yang sama, yang menghantui tidurku beberapa hari ini. Kemudian jika besok tidak hanyalah omong kosong belaka, malam ini akan menjadi penyesalan, lalu kita tidak pernah benar-benar ada."

Mereka ada di mana-mana, di bawah tempat tidurku, di balik jendelaku, di langit-langit kamarku, bahkan di dalam jiwaku. 

"Kita akan berakhir?" Aku kembali bertanya ketika ia hanya bisa diam di tempatnya.

Semua akan berakhir, aku tidak bodoh untuk memahami hal ini, tapi aku terlalu takut.

Seperti siapa-siapa yang pernah membuatku ketakutan, perasaan selalu ditawan kehilangan, meski mereka berakhir tetap menjadi bukan siapa-siapa di akhir perhentian. Aku tidak pernah baik-baik saja dan terbiasa dengan kepergian.

Berakhir pelajaran panjang tentang merelakan, tetap menjadi takdir yang dirahasiakan, yang setiap jengkal kisahnya tidak pernah habis kita perkirakan; entah akhir yang diinginkan atau segala keluh kesah tentang kehilangan.

"Kita berdua tau, kita sudah berusaha sejauh yang kita bisa, bagaimana jika beberapa hal memang berakhir agar hal baru terlahir?"

"Bagaimana jika beberapa hal berakhir memang karena ulah takdir?" 

"Kita bisa apa?"

"Aku tidak paham, kita dipertemukan saat aku sedang berharap ingin ditemukan, dan kau lelah sendirian, tapi beberapa hal nampaknya tidak berjalan seperti apa yang kita inginkan. Apa yang aku lewatkan?"

"Kenyataan."

Lalu yang terakhir kuingat malam itu, hujan di luar ikut terjatuh di atas kepalaku, perapian itu berakhir dingin membeku, tidak ada sedikitpun terdengar lagu.

Tergerus arus hujan
Menjadi abu di dinginnya perapian
Malam itu, kita menjelma penyesalan; pernah ada untuk dipertanyakan, tidak pernah benar-benar ada untuk sekedar dikenang; 
menjadi kisah kesukaan sang kenyataan.


Photo by Craig Adderley on Pexels

Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Detak

Saat di mana kita saling memberi pundak untuk sekedar meringankan beban dan sepasang telinga untuk merekam setiap keluhan. Tangan yang selalu terulur untuk menghapus jejak tangisan, memberi tanpa mengingat imbalan, bergandengan bersama menyusuri jalan, saling memeluk seakan hari itu adalah hari terakhir kita berkenalan sekaligus mengucap perpisahan.  Bagaimana kita tertawa hanya karena hal-hal sederhana, tertawa sebab kita merasa bahagia bukan karena ada luka yang sedang dijaga. Kala itu, hari seakan tak ada habisnya sebab kita tak pernah menyinggung perihal esok lusa. Sedih dan pedih tak pernah berlama-lama di sisi sebab kita saling memiliki. Di penghujung hari, kita selalu punya rumah untuk disinggahi, untuk saling mengisi dan menangisi.  Langkah-langkah kaki kini terbagi, jalan kita tak sama lagi. Tapi satu yang pasti, di masing-masing hati, ada rumah yang tak pernah mati.  Rumah itu berdetak.... Terhalang jarak Terus berdetak Sampai kita berkumpul serentak...