Langsung ke konten utama

Musim Panas 2011






Mengenang Kenangan dan Kehilangan

Nama kami sama-sama terdiri dari tiga kata, huruf depan kata pertama dan kedua, juga sama. Jika ditanya tentangnya, aku tak betul-betul tau, sebab jarak sudah memisahkan kita bertahun-tahun lamanya.

Yang paling kuingat, sore hari di pertengahan 2011. Saat itu sedang kemarau, langit sedang senang membakar kepala kami. Dia tergesa-gesa menghampiriku di bawah pohon jambu, kemudian meminta maaf sebab ia terlambat.

"Maaf, aku baru terbangun, sudah lama?" Intonasi suaranya sangat khas, setiap kata ia tekan, sehingga sering kukira ia marah.

"Baru sampai juga." Aku berbohong, aku sudah menunggu hampir setengah jam, sengaja agar ia tak merasa bersalah.

"Aku tidak mandi." Ia mengatakan itu semacam sesuatu yang harus dibanggakan. "Tapi masih harum, soalnya pakai parfum Ibu," sambungnya.

"Bukannya tadi di sekolah sudah puas bermain?" tanyaku.

"Belum puas, istirahatnya cuma 15 menit." Ia mengeluarkan mp3 player dan cokelat dari kantongnya, lalu memberi cokelat itu padaku. "Enak, oleh-oleh dari Ibu," sambungnya sambil memperbaiki tali earphone yang acak-acakan. Aku menaruh cokelat itu di kantong celana.

Kami duduk bersandar di pohon, angin sore meniup-niup rambutnya yang lumayan panjang di bagian depan—yang kadang ia keluhkan sebab susah dikeringkan—dan juga rambutku.

"Coba dengar." Ia memberiku earphone sebelah kanan, aku mendengar lagu yang sedang ia setel. Judika - Bukan Dia Tapi Aku. Mata kami terpejam, tapi kepalaku menolak diam. Aku mulai ketakutan, yang kubayangkan; bagaimana jika suatu saat orang di sebelahku akan pergi? Bagaimana jika janji kami menolak saling menepati? Bagaimana jika aku yang ternyata pergi? Aku hampir menangis, membayangkan semua ketakutan itu sendirian.

Sementara suara Judika masih terus mengisi kekosongan di antara kami, aku merasakan ada yang mengalir di bawah mataku. Mataku masih terpejam, aku membiarkan cairan itu mengering tertiup angin.

"Eh, kamu kenapa?" Rupanya dia sudah lebih dulu membuka mata. Kubetulkan posisi duduk, lalu memutar otak mencari alasan yang tepat.

"Ah, serbuk bunga jambu di atas masuk ke mataku." Aku yakin sekali dia bisa mengendus bau kebohongan di kalimatku. Bagaimana bisa serbuk itu masuk ke mata yang terpejam? Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia diam. Cukup lama.

"Lagunya sedih, iya?" Dari banyaknya dugaanku, pertanyaan yang lolos dari mulutnya, meleset.

"Eh, iya, iya. Sedih." Jujur saat itu aku tidak begitu paham lagu tersebut menceritakan apa. Sebab yang terus berputar di kepalaku adalah ketakutan tadi.

Dia mematikan mp3, suasana menjadi sangat canggung. Entah, kadang-kadang, tanpa dia melakukan apa pun, atmosfer di sekitar menjadi sangat berat. Aku memberikan earphone-nya, kemudian dia menggulung kasar benda itu, lalu memasukkannya secara asal ke kantung celana.

"Mau ke bendungan?" ajaknya.

Langit menjadi mendung, kami menelusuri jalan setapak di pinggir sawah. Dia memegang tanganku, saat kutanya kenapa. "Pematangnya licin, kalau kamu jatuh, repot," katanya. Malah menurutku lebih susah berjalan beriringan di pematang kecil.

"Kalau jatuh bersama, bagaimana?" tanyaku.

"Ya, kamu tidak dimarahi sendirian sama Ibu." Jawaban sesingkat itu, mampu membuat hatiku menghangat.

Baru saja kekhawatiranku terbayang, kini kenyataan. Kakiku kiriku terpeleset, dia hampir ikut jatuh sebab aku menarik tangannya. Entah bagaimana, badan kami tetap seimbang. Sebelah sendalku putus.

"Baru saja dibicarakan," gerutunya sambil berjongkok, ingin memeriksa sendalku.

"Eh, jangan." Tanganku menahannya ketika ingin meraih sendalku. "Sudah putus, tidak bisa diperbaiki lagi."

Ia kembali berdiri, merogoh kantong celananya. "Siapa bilang tidak bisa?" Ia mengangkat sebuah peniti kecil di udara. Aku memberikan ekspresi seperti orang bodoh. "Kemarikan sendalmu."

Seperti terhipnotis, aku langsung melepas sendalku yang sangat kotor akibat lumpur. Lalu memberikannya. Beberapa saat kemudian ia menyodorkan kembali sendal itu padaku.

"Eh ... sudah?" tanyaku tak percaya. Ia mengangguk. "Cepat pakai, nanti sampai di bendungannya sudah magrib."

Kembali berjalan, kali ini dia di depan. Sebab pematang semakin mengecil dan semakin licin, tapi tangannya tetap terulur ke belakang, memegang tanganku.

Air di bendungan sedang surut, kami duduk di sisinya, bersebelahan. Menghadap ke arah matahari akan tenggelam, meski air berisik, aku bisa mendengar napasnya yang saling mengejar. Wajah itu, berwarna oranye tersiram panasnya matahari. Tahi lalat di dekat bibirnya semakin jelas, bekas luka di kepalanya terlihat, juga alisnya yang sedikit, semakin menipis. Ia menoleh, tersenyum, damai sekali.

"Lelah, ya?"

Ia mengangguk. "Tapi kalau sama kamu, selalu senang."

Aku memberikan tatapan bertanya.

"Karena kamu, kamu tidak pernah menegur cara bicaraku yang cepat, suaraku yang tinggi, bunyi mulutku ketika makan, bau badanku kalau aku tidak mandi. Kamu tidak pernah bertanya tentang dari mana luka di kepalaku berasal, kenapa aku kadang menjadi sangat pemarah, dan kenapa aku terkadang meneriaki orang tanpa sebab."

Ia mengatakan itu hampir dalam satu tarikan napas, sangat cepat hingga aku kesulitan memahaminya. Dan, benar. Semua yang dikatakannya itu benar. Bohong kalau aku tidak pernah penasaran dan ingin bertanya, bohong kalau aku tidak pernah merasa terganggu saat dia tidak mandi, bohong kalau aku tidak pernah takut saat dia tiba-tiba menyudutkan orang, dan berpikir dirinya yang paling benar. Beberapa, ada yang terang-terangan menayakan hal itu padanya, tidak denganku. Karena aku pikir, itu hanyalah dia menjadi dia. Selama aku lebih sering merasa nyaman daripada tak aman bersamanya, beberapa sifat yang ia sebutkan di atas bukanlah perkara besar.

Jika ia saja tak masalah denganku, kenapa aku harus mencari alasan agar bisa menjauh? Dia baik, hatinya baik, pikirannya baik.

Aku tak tau harus menjawab apa. "Kamu juga mau bersamaku, meski beberapa orang menjauhiku." Hanya sembilan kata yang keluar dari mulutku kala itu.

Dia mengangguk, tersenyum sangat lama sekali. "Janji, kita akan bersahabat selamanya." Ia mengangkat kelingking, aku mengikutinya. "Janji."

Janji itu terucap, disaksikan senja dan riuhnya air. Tanpa kami tau, di depan nanti, ada janji yang menolak saling menepati.



Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa  ❤


Picture by Inga Seliverstova







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Rumah; Potongan Yang Hilang

    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.     Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.    Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.    Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar ki...