Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.
Cerita dari Data, begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu, yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini.
Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you, Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren.
Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita yang sedikit demi sedikit peduli dengan hal ini.
•••
Aku terlahir sebagai laki-laki, atau itulah yang semua orang katakan kepadaku, tapi mereka jugalah yang tidak menerimaku sebagai laki-laki. – hal 86.
Memulai cerita tersebut, saya seperti sedang ngobrol dengan diri sendiri. Perlahan-lahan alur mengalir menceritakan perjalanan panjang penuh gejolak batin antara jiwa dan raga.
Seperti bercermin, saya serasa ada di sana saat tokoh utama mulai bercerita bagaimana ia kesulitan mencari cara, untuk sekedar dianggap manusia oleh sesama.
Sampai ia menemukan rumah untuk ruhnya, sampai ia merasa semua teriakan-teriakan, olok-olokan, penolakan, yang sebelumnya membebaninya hanya angin lalu saja.
Seseorang memperkenalkannya pada lengger lanang, hanya dengan itu akhirnya ruhnya bisa merasa berada di "rumah". Baginya, menari menjadi perantara untuk menumpahkan energi-energi buruk. Perlahan-lahan rumah itu ia bangun dengan harapan agar bisa menampung banyak orang, merangkul keresahan mereka-mereka yang bernasib sama sepertinya, dan berakhir sebagai tempat paling aman untuk menjadi diri sendiri.
Melalui tarian lengger, aku dapat menjadi keduanya, laki-laki juga perempuan. Sebuah peleburan yang sempurna. – hal 87.
•••
Tapi dunia ini terlalu luas dan kejam, tidak semua orang mau belajar memahami sebelum menilai.
Suatu sore, Yanto, salah satu penari lengger, dengan ketakutan menceritakan bahwa ia sedang "diintai" oleh laki-laki tidak dikenal. Kabar ini membuat Mas–pendiri sanggar tari lengger lanang–kembali mengecap keresahan yang telah disangka hilang.
Malam itu, ketika mereka bersiap untuk sebuah pementasan. Yanto tidak ada kabar sama sekali, sulit dihubungi. Saat ditemukan, wajahnya tidak dapat dikenali lagi, ia bergelung di tanah memegangi perutnya, mulutnya terus merintih kesakitan, wajahnya penuh darah, lebam ada di mana-mana.
Laki-laki itu. Tidak ada hal lain.
Orang seperti kami sudah divonis menjadi masyarakat buangan di negeri ini, sebagian orang merasa berhak untuk memperlakukan kami seperti sampah – hal 95.
Bayangkan, untuk sekedar merasa aman saja, bukan perkara semudah meludah ke tanah, ada banyak sekali bungkam yang harus segera diteriakkan. Tapi sekali lagi, dunia ini terlalu tuli bagi orang-orang ini.
Pertikaian dengan diri sendiri saja bisa menghabiskan waktu seumur hidup, lalu seumur hidup kamu harus terus mendengar orang lain menyalahkanmu. What a life!
Aku ingin sekali berteriak di kegelapan malam, menyerukan kemarahanku kepada Tuhan. Mengapa menjadi berbeda dianggap dosa? – hal 96.
Ketika kau tidak tahu harus menyalahkan siapa lagi, entah itu kenyataan atau kah Tuhan, kemudian kau berakhir mengutuk dirimu sendiri sebagai kesalahan.
Hati saya teriris, menangis, entah kenapa semua hal yang saya baca di tulisan ini nyaris mendekati apa yang sedang terjadi di sekitar kita.
Setiap tahun angka kekerasan terus bertambah, orang-orang yang menjadi harapan semakin abai, hak-hak manusia tidak terpenuhi. Apa ini yang mereka sebut tanah damai?
Rumah itu, dibangun dengan keresahan, kegelisahan, dan penuh harapan-harapan baik untuk hari yang akan datang. Kemudian kau sadar, sebagaimana keras usahamu, semuanya akan berakhir hancur berserakan.
Yanto adalah satu contoh dari sekian banyak luka yang terjadi di tanah kita ini, trauma Yanto berteriak mencari keadilan dan hak sebagai manusia, sayangnya kita berada di tengah-tengah kerumunan pembawa kunci surga, yang bertingkah sebagai hakim mengalahkan pemilik dunia.
Yanto dipaksa bungkam oleh keadaan, mimpi-mimpinya hancur berserakan. Tidak ada keadilan yang ia rasakan. Sadar atau tidak, di luaran sana, kasus yang sama bertambah banyak, dan keadilan semakin tidur nyenyak.
•••
Cerita ini berakhir dengan Mas yang tidak meninggalkan mimpinya begitu saja, seperti yang terpaksa harus Yanto lakukan, sebagian orang mungkin akan melihat semangat Mas sebagai hal luar biasa. But somehow, luka dan trauma Yanto lebih membuat saya merasakan sakit mendalam.
Mas mungkin cukup kuat untuk terus membiarkan mimpinya menyala, tapi saya cukup sering melihat Yanto di kehidupan nyata. Mimpinya pernah menyala membara, kemudian redup tak berdaya, lalu berakhir mati tak tersisa. Semua itu karena beberapa dari kita tidak bisa melihat orang menjalani hidupnya dengan pilihan-pilihan mereka.
Menjadi Yanto, mempunyai mimpi kadang tidak berarti.
Emosi saya terkuras habis, lagi dan lagi Kak Lentera langit benar-benar paling jago kalau urusan mengobrak-abrik perasaan pembaca.
Tulisan ini pendek, seperti namanya, tapi isi yang ingin disampaikan serasa tidak akan pernah habis untuk kembali direnungi.
Saya harap hal-hal baik akan terus bertambah, dan tidak ada lagi Yanto yang harus merasakan hidup terpenjara.
Penulis berhasil menyatukan, pencarian jati diri, mimpi, budaya dan hak asasi manusia menjadi hal luar biasa, sarat akan makna dan pengajaran.
Lagi dan lagi, Kak Lentera Langit membuat saya tidak bisa berkata-kata dengan karyanya.
Setelah membacanya, terbesit satu pertanyan di dalam pikiran ini.
Sudahkah bisa disebut manusia sebelum memanusiakan sesama?
Pada kenyataannya, kami tidak pernah meminta Tuhan menjadikan kami seperti ini. ... tidak, bukan Tuhan yang salah, masalahnya ada pada manusia, mereka senang menghakimi karena takut dengan hal-hal yang tidak mereka pahami. – hal 98.
Terima kasih banyak Kak Lentera Langit yang sudah memberikan saya kesempatan memiliki buku ini, sangat-sangat worth to read!
Kalian semua jangan lupa baca, ya!
Terima kasih sudah membaca.
Love, Octa.
Komentar
Posting Komentar