Langsung ke konten utama

Journey; to the Past


Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga.

Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar terjadi kecuali di dalam televisi atau komik warna-warni.

Mungkin saya kurang beruntung tidak kebagian hidung mancung, tapi saya cukup senang diberikan penciuman yang mudah "tersinggung". Jika orang lain kebanyakan berfoto untuk mengenang moment yang hanya sesekali berlangsung, saya lebih sering mengenang sesuatu dengan hidung. Iya, kamu tidak sedang salah baca, dengan hidung.

Dari cerita Mama', mungkin saya tidak terlalu ingat saat menuju lebaran ke-4 hampir membakar rumah dengan bermain-main kembang api, tapi saya selalu ingat dengan moment itu jika ada yang bermain kembang api, melalui bau khas yang setelah padam menyisakan asap pedih. Juga, saat umur 8, katanya sebelum berangkat sekolah, saya sering meminta Mama' memakaikan parfum miliknya, oleh-oleh dari arab, baunya seperti orang-orang yang baru datang dari berhaji. Sekarang, kalau tidak sengaja berpapasan dengan orang yang kebetulan memakai wewangian dari tanah suci, terkadang saya termenung dan mengingat pertengkaran kecil dengan Mama', sebelum memutuskan pergi sekolah biasanya tentang ikatan dasi yang terlalu tinggi atau topi merah yang sedikit miring ke kiri. Kecil dulu, setahun sekali di rumah pasti ada kue jadul berbentuk daun keladi, di atasnya biasanya diberi taburan gula yang sudah diwarnai. Beberapa waktu kemarin saya bertamu ke rumah teman, ada kue berbentuk dan beraroma sama yang dia suguhi. Saya makan dengan perasaan penuh kilas balik, aroma kue itu benar-benar membawa saya ke 14 tahun yang yang lalu, saat hangat lebaran masih ada di sekeliling kami.

Saya bisa menjadi sangat perasa kalau sudah soal bau membau, sebagai orang yang mudah larut dalam perasaan, hal ini bisa memicu beberapa luka di masa lalu, tapi bermain-main sedikit dengan kenangan itu kadang perlu. Kamu bisa saja melihat sudut pandang baru atau mengobati rindu. 

Kembali ke perasaan saya di awal tadi, meski cukup lambat menyadari. Perasaan-perasaan itu datang dari wewangian yang saya pakai kurang lebih satu minggu belakangan ini. Saya tidak terlalu pandai mendeksrikpsikan wewangian, tapi Journey buatan Hekatar ini membuat saya sering kembali berjalan-jalan bernostalgia di masa kecil. Perpaduan bau buah, kayu, dan hangat. Seperti musim panas 14 tahun lalu. Mama' memutar radio dengan suara acak entah siapa yang berlagu, anak kecil duduk di teras rumah kayu, sudah dua kali ia disuruh tidur siang, tapi angin dari timur membuatnya enggan berhenti menatap halaman depan itu. Langit sedang memuntahkan warna biru, yang senada dengar warna ruang tamu, halaman depan penuh bunga matahari dan jijiran batu tersusun berbentuk lingkaran tak utuh, bonsai yang selalu berbunga meski kemarau, pohon mangga yang hampir tidak pernah berbuah lebih dari satu, pohon lemon kecut yang di bawahnya ada banyak sekali batu-batu. Saya rindu sekali dengan si anak kecil berwajah teduh, dan sudah beberapa hari ini saya sering menemuinya melalui wewangian itu.


Sebelumnya saya hanya menikmati gelombang nostalgia itu dengan diam, setiap datang saya tidak pernah memintanya segera pulang. Semakin paham, saya semakin sering-sering ingin ia bertandang, meski hanya melalui wewangian, rindu saya sedikit terbalaskan.

Saya sekarang senang duduk beberapa saat setelah memakai Journey, sebelum keluar kamar, menikmati perasaan yang besok-besok belum tentu bisa saya temui.

Saya tau ini terdengar sangat dilebih-lebihkan, hanya soal wewangian malah merembes menjadi cerita panjang. Tapi kalau kamu punya hati yang sangat sensitif dan kenangan yang selalu ingin mencari jalan untuk dikenang, kamu akan relate dengan apa yang saya rasakan dan ceritakan.


Terima kasih Hekatar, sudah mempertemukan saya dengan Journey. Benar-benar Journey to the past.



Terima kasih sudah membaca.
Love, Octa!


Mungkin saja kamu penasaran dengan pengalaman seperti yang saya rasakan, boleh langsung ke Hekatar



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Detak

Saat di mana kita saling memberi pundak untuk sekedar meringankan beban dan sepasang telinga untuk merekam setiap keluhan. Tangan yang selalu terulur untuk menghapus jejak tangisan, memberi tanpa mengingat imbalan, bergandengan bersama menyusuri jalan, saling memeluk seakan hari itu adalah hari terakhir kita berkenalan sekaligus mengucap perpisahan.  Bagaimana kita tertawa hanya karena hal-hal sederhana, tertawa sebab kita merasa bahagia bukan karena ada luka yang sedang dijaga. Kala itu, hari seakan tak ada habisnya sebab kita tak pernah menyinggung perihal esok lusa. Sedih dan pedih tak pernah berlama-lama di sisi sebab kita saling memiliki. Di penghujung hari, kita selalu punya rumah untuk disinggahi, untuk saling mengisi dan menangisi.  Langkah-langkah kaki kini terbagi, jalan kita tak sama lagi. Tapi satu yang pasti, di masing-masing hati, ada rumah yang tak pernah mati.  Rumah itu berdetak.... Terhalang jarak Terus berdetak Sampai kita berkumpul serentak...