Langsung ke konten utama

Ketika Cerita Bercerita





Alam adalah cerita tentangmu

Seperti langit biru dan awan membentang.
Kau diceritakan sebagai seorang pejuang yang berangan akan menang mengalahkan sang kehidupan. Namun yang kudengar, kau kehilangan harapan bahkan sebelum berperang. Gulungan awan menyaksikan patahan pedang yang terlempar jauh ke sisi pegunungan, kemudian ikut kau tanam dengan kesedihan, menghilang.

Seperti burung yang terbang riang.
Kau diceritakan sebagai pemilik suara merdu oleh seisi hutan, tapi yang kusaksikan kaulah si pemilik kantong-kantong kebohongan, terbang jauh melintasi pepohonan dengan nyanyian malang, kau berusaha terlihat senang sedang jauh di dalam, batinmu tak tenang. Parau suaramu menggema di rongga goa tua, menyanyikan betapa tidak adilnya kehidupan dengan menganggapmu terbang karena kau bebas. Yang benar adalah kau terbang karena kau harus tetap terbang. Patah-patah kepakan sayapmu lemah meminta belas kasihan Tuhan agar kau segera dituntun pulang.

Seperti danau yang arusnya tenang.
Kau diceritakan sebagai air yang mengalir jernih di tengah hutan, ikan-ikan di badanmu kerap berlompatan menikmati rindangnya bayangan pohon ketapang. Padahal jauh di dalam, aku menyaksikan kau sesak terhimpit bebatuan. Kau keruh, tak sejernih yang diceritakan orang, kau menangis meminta pertolongan, menunggu datang si pendulang agar kau bisa mengadu tentang apa saja yang telah kau tahan. Berharap ada sampan nelayan yang lewat agar kau bisa menumpang pulang.

Seperti rumput-rumput liar yang dihinggapi belalang.
Kau diceritakan sebagai sosok kokoh yang tegap di tengah-tengah angin kencang, bahkan saat hujan kau tak tumbang. Tetapi yang kudengar kau tak lebih dari bunga-bunga jalanan. Tetap saja, rumput adalah rumput yang tak berarti bagi orang. Tumbuh bunga segudang pun kau tetap rumput yang mengganggu pemandangan. Bahkan kau dijuluki perusak oleh pemilik taman. Kumbang tak sudi berpijak pada dahanmu yang usang, kunang-kunang tak sudi berbagi cahaya denganmu di malam tak berbintang. Hanya si belalang sakit-sakitan yang setia menemanimu menunggu panas terik matari membuatmu mati kekeringan.

Kau tak perlu berbohong, ceritamu telah menggenang di telinga-telinga banyak orang. Kau tak perlu diam, ada jutaan perasaan yang saatnya kau tumpahkan. Kau tak sendirian, aku, di sini selalu ada bahkan tanpa kau perhatikan.




Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa❤


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Detak

Saat di mana kita saling memberi pundak untuk sekedar meringankan beban dan sepasang telinga untuk merekam setiap keluhan. Tangan yang selalu terulur untuk menghapus jejak tangisan, memberi tanpa mengingat imbalan, bergandengan bersama menyusuri jalan, saling memeluk seakan hari itu adalah hari terakhir kita berkenalan sekaligus mengucap perpisahan.  Bagaimana kita tertawa hanya karena hal-hal sederhana, tertawa sebab kita merasa bahagia bukan karena ada luka yang sedang dijaga. Kala itu, hari seakan tak ada habisnya sebab kita tak pernah menyinggung perihal esok lusa. Sedih dan pedih tak pernah berlama-lama di sisi sebab kita saling memiliki. Di penghujung hari, kita selalu punya rumah untuk disinggahi, untuk saling mengisi dan menangisi.  Langkah-langkah kaki kini terbagi, jalan kita tak sama lagi. Tapi satu yang pasti, di masing-masing hati, ada rumah yang tak pernah mati.  Rumah itu berdetak.... Terhalang jarak Terus berdetak Sampai kita berkumpul serentak...