Langsung ke konten utama

Tempat Berpulang




Keluarga—bagaimanapun kau menyebut mereka
Adalah tempatmu pulang setelah seharian bermain dan berlarian
Adalah tempatmu mengadu saat kau menangis kesakitan
Adalah tempatmu bercerita kala kau merasa dunia tak adil memberimu ujian
Adalah tempatmu mengumpulkan tawa ketika bahagia datang berkejaran
Adalah tempatmu tumbuh besar dan merasakan kasih sayang yang sehebat apa pun sulit kauberi balasan
Adalah rumah yang senyaman apa pun persinggahanmu di luar sana tak bisa ada yang menggantikan
Adalah harta terbesar yang kemana pun kau berkelana tak akan pernah kau mudah dapatkan

Tempat yang kau bangun di antara mereka, adalah tempat yang haus akan sosokmu. Tiap-tiap dindingnya berisi teriakan-teriakan yang setiap malam merindukan dengkuranmu. Ruangannya berisi harummu tak lekang waktu, yang diam-diam mengendap di dadamu. Jendelanya kumuh menandakan semakin berganti tahun, semakin berkurang pula kehadirmu. Perapiannya mati tak tersentuh, menggigil menunggu hangatnya desir darahmu. Permadani yang saban hari kau bersihkan dengan sapu, kini tak bisa kau kenali lagi akibat tertutupi debu. Bahkan, lantainya retak mengemis pijakan kakimu.
Tempat itu, menjadi saksi di sepertiga malam diam-diam ibumu membisikkan sesuatu pada lingkar waktu agar nama yang selama ini hanya terhenti di ujung lidahnya. Sampai di kedua telingamu.

Kami merindukanmu, Nak...
Pulanglah ... ke tempat yang seharusnya kau berada.







Terim kasih sudah mampir!
Love, Octa ❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Rumah; Potongan Yang Hilang

    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.     Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.    Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.    Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar ki...