Langsung ke konten utama

Macramé



Aku dan dia mengikatnya bersamaan
Aku mengeratkan dia melonggarkan
Aku mengikat secara silang dia memilih menghilang sebelum simpul utuh di tangan

•••


Aku menemukannya tergantung di kamar, di depan dinding putih tulang. Selain simpulnya yang rumit, ada kenangan yang menggenang di setiap ikatan temalinya. Menyerap masuk melalui celah-celah benang yang semakin dilihat dekat semakin kasar. Dia mungkin masih ada di sana, hanya saja perasaan saat menyentuhnya menjadi beda.

Bagai pencuri andal, ia menang walau diam, menertawakanku yang bimbang, merendahkanku yang masih terkatung-katung di dalam kenangan lampau. Membangunkanku di sepertiga malam dan mencuri alasan agar aku bisa terlelap kembali, hingga pagi mengantarkanku pada penyesalan terulang.

Sudah kucoba membuang penyangganya, tapi ia kembali bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Kubakar habis untaiannya, malah tanganku yang terbakar habis. Dia kuat ... sangat kuat.

Soal menyelesaikan ikatan sendirian dan menggantungnya penuh kesedihan. Ada penyesalan yang ikut terpajang di dinding depan. Yang kini aku sendiri pun kesulitan melupakan.

Setiap melihatnya, aku selalu berharap akan ada seseorang yang membantuku keluar dari ikatan yang kubuat sendiri. Lalu mengajarkanku cara mengikat dengan kuat tanpa takut akan longgar nantinya. Menyelesaikan dari tarikan tali pertama hingga tergantung di sana.

Aku selalu menunggu....






Terimakasih sudah mampir!
Love, Octa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Rumah; Potongan Yang Hilang

    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.     Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.    Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.    Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar ki...