Langsung ke konten utama

Postingan

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita

It's Getting Late

"Sudah larut, kau mungkin ingin pulang." Api rokok itu ia matikan setelah aku bertanya, meneguk habis sisa wiski di gelas yang tersisa, kemudian beranjak dan meraih pemantik di atas meja. Kayu itu ia nyalakan, ruangan sempit ini semakin hangat dan menyedihkan, dengan warna api nyalang di sisi-sisi dinding berwarna putih tulang. Lalu Ia kembali duduk di depanku, membelakangi perapian, terlihat gelisah dan aku yang ingin sekali bertanya, seharusnya ia sudah pulang. "Malam ini aku akan menginap." Aku berdiri mengambil sebuah piringan hitam, memutarnya dengan suara pelan. Lagu itu berlarian di atas lantai, meredam hujan, beriringan dengan ketukan kakinya, matanya ia pejamkan. "Kucing-kucingmu, mereka menunggumu di rumah. Mereka mungkin sedang bersembunyi, di luar hujan turun deras sekali, mereka takut hujan, 'kan?" "Di sini ada kucing besar yang lebih penakut." Aku mengiriminya pesan tepat saat langit mulai terlihat murung, dan angin mulai menget

Menebus

Malam ini dadaku kembali sesak. Entah, rasanya kali ini ada yang ingin dikeluarkan. Biasanya, kalau begini aku akan memberi tahumu lalu pembicaraan sederhana kita akan membuatku tenang. Sebab, pernah sekali kusebut bahwa kau adalah ... rumahku. Tapi tidak, tidak, sekarang bukan lagi masanya kau terselip antara di kalimat-kalimat manisku.   ••• Ingat saat aku menceritakan mimpi burukku Desember kemarin? Iya, cerita itu bukan sekedar mimpi sekarang. Bukan hanya langit kita yang terpisah, kini kita juga. Aku tahu, kita berdua tahu, janji itu pernah terucap. Tapi bagaimana dengan semesta yang pada dasarnya tak ingin kita berlama-lama berbagi cerita? Entah, sedang tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tak perlu banyak hal (lagi) untuk membuktikan bahwa aku, benar-benar harus menyudahi dan pergi.  Mungkin aku berutang maaf sejak menghilang tanpa memberitahumu terlebih dahulu, tapi aku berhak hidup tenang dan aku tak menyesali apapun. Memang, denganmu aku merasa lebih hidup, tapi hid

Bisikan Angin

Kita dipertemukan di antara Januari dan Mei, pada hari-hari di mana matahari sedang dilanda bingung dan awan-awan tetap di sana mematung. Kala itu hujan tak kunjung turun sementara angin terus berbisik pada daun-daun kering yang bergantung.  Setelah ini bukan hanya kau yang akan jatuh. Sedikit aneh, keluhmu hati-hati. Masih bulan ke dua dan langit sudah kebingungan sekali. Musim-musim itu, kau menyebutnya mendung mesra. Pernah terlalu dingin untuk dinikmati seorang diri, lalu sekarang kau bisa menyusuri jalan dengan empat kaki dan aku tak perlu menghitung jejak yang tertinggal lagi. Jauh di depan sana, aku tahu ada banyak musim yang akan kita lalui. Rumah-rumah yang akan kita singgahi untuk sekedar menyaksikan para tuan-tuan itu berkelahi, menyayangi, menemani, dan mati. "Bagaimana jika hujan menghapus jejak-jejak kita?"  "Tidak akan hujan, langit sedang kebingungan." Kau adalah kau yang sedingin hujan dan setenang genangan yang ia tinggalkan. Jika ditan

20 Desember 2019

Anak Ibu terbangun; Dari mimpi buruk tentang kehilangan, napasnya tak beraturan tenggorokannya kehausan. Tangis di pipinya berkejaran meminta pertolongan, kali ini dia datang setelah lama menghilang. Kali ini dia datang sekaligus mengucapkan perpisahan. Kali ini, anak Ibu takut mimpinya kenyataan. Anak Ibu berdoa kepada Tuhan; Di depan jendela, tangannya terbuka matanya sembab memerah. Bibirnya gemetar menyebut nama yang sudah ia hafal di luar kepala, nama yang shubuh saja sudah bosan mendengarnya, tapi ia tahu Tuhan tak pernah digambarkan tuli dan buta; aku ingin bercerita, Tuhan. Tentang dia yang kau mungkin sudah akrab dengan namanya. Kalau kemarin-kemarin aku mengadu tentang bahagia, sekarang beda. Bolehkah kau bocorkan rahasiamu? Sedikit saja, misal apakah nanti dia akan pergi juga? Atau tetap tinggal? Kau adalah sebaik-baiknya alasan pertemuan dua asing hingga salah satunya menyimpan rasa, tidakkah kau kasihan, Tuhan? Di sepertiga malam, anakmu ini terbangun, di kepal

Kegundahanmu pada Musim-Musim itu

Untukmu; Musim-musim itu menjadi jawaban atas pertanyaanmu. Kau berganti bukan berarti hati ini ikut berotasi, bunga dan daunmu layu mati tak menjadi alasan agar aku mulai mencari, kau adalah kau; yang tak akan pernah kudapati walau keujung bumi kuberjalan kaki, mengurai layar arombai melawan badai berpayung langit berapi-api, menelusuri ceruk-ceruk sungai hingga landai ardi kudaki, menaiki langit tetap kau tak bisa kuraih. Sebab kau, adalah sebanyak-banyaknya harta berharga, kau yang paling bernilai. Tak perlu ragu, aku tak memuja deretan bunga di kepalamu, aku mencintai akar-akar itu, akar-akar tak kasat mata di bawah tanah yang selalu membuatku candu, di mana semua kebahagiaan serta kekhawatiranku menuju. Kau tak harus membenci musim gugur sebab membuat bungamu berhambur di tanah gersang. Tangkai-tangai kurus yang membuatmu berang, sungguh, membuatku semakin penasaran, aku rela mempelajari setiap yang kutemukan; lalu belajar mencintai hal-hal yang kau khawatirkan, yang k