Kita dipertemukan di antara Januari dan Mei, pada hari-hari di mana matahari sedang dilanda bingung dan awan-awan tetap di sana mematung. Kala itu hujan tak kunjung turun sementara angin terus berbisik pada daun-daun kering yang bergantung.
Setelah ini bukan hanya kau yang akan jatuh.
Sedikit aneh, keluhmu hati-hati. Masih bulan ke dua dan langit sudah kebingungan sekali. Musim-musim itu, kau menyebutnya mendung mesra. Pernah terlalu dingin untuk dinikmati seorang diri, lalu sekarang kau bisa menyusuri jalan dengan empat kaki dan aku tak perlu menghitung jejak yang tertinggal lagi. Jauh di depan sana, aku tahu ada banyak musim yang akan kita lalui. Rumah-rumah yang akan kita singgahi untuk sekedar menyaksikan para tuan-tuan itu berkelahi, menyayangi, menemani, dan mati.
"Bagaimana jika hujan menghapus jejak-jejak kita?"
"Tidak akan hujan, langit sedang kebingungan."
Kau adalah kau yang sedingin hujan dan setenang genangan yang ia tinggalkan. Jika ditanya apa yang kusukai dan tidak kusukai dalam satu waktu, akan kujawab; adalah tenang seorang periang.
Beberapa saat kau mengatakan menyukai biru, lalu kudapati sekujur badanmu membiru. Di satu waktu katamu pelangi itu membuatmu mengingat hari di mana kau melepas sendu, diajari bahagia oleh Ibu, kemudian entah kapan semua warna yang kau lihat berubah menjadi abu-abu.
"Tapi bagaimana jika hujan?"
Aku tetap menjadi manusia dengan segala jalan buntu di sisi kiri dan kananku, sementara di depan dan belakangku ada jurang yang menunggu.
Bukan langit saja, salah satu manusia di bawahnya sedang sama bingungnya.
Kita tetap berjalan, menyusuri bebatuan, tanjakan, kelokan, dan kadang-kadang aku tak menemukan jalan. Kau seperti ... menghilang, tanganmu seperti tak mengenggam, suaramu terdengar dari kejauhan. Lalu kau kembali lagi seperti kau ada, seperti apa yang kau janjikan.
"Kita akan membuat jejak baru."
Meski begitu, buntu tetaplah buntu, jurang masih menunggu dan aku masihlah aku.
Aku takut jika apa yang kuduga akan berakhir sama. Aku tak punya apa-apa selain tujuan yang kusebut rumah. Kau, dan segala yang tak kutemukan di mana-mana.
"Apa yang bisa menjamin jejak itu akan sama?"
Maksudku, perasaan yang kudapati saat aku lega mengetahui kedua telingamu ada untuk menampung ocehanku sepanjang hari, kedua tanganmu memegangku yang kesusahan untuk berdiri, kedua kakimu yang menuntunku mencari arti–bahwa hidup bukan hanya sekedar lahir dan mati.
"Aku tidak bisa menjanjikan semua jejak-jejak kita nantinya akan sama. Tapi, kalau kau mau, kita akan berusaha membuatnya tetap sama. Jika ada jejak yang berbeda, setidaknya kita melewatinya bersama-sama."
Setelah ini bukan hanya kau yang akan jatuh.
Pada orang-orang yang menyaksikanku tersenyum malam itu, kau boleh bertanya seberapa lama aku menari-nari di kegelapan, tak menyaksikan apa-apa tapi gelap yang mulai menyambutku. Aku menangis dan tertawa dalam satu waktu, melepas ragu tanpa sadar semuanya pergi satu per satu.
Manusia malang dengan hati sebening gemintang menaruh harap pada gelap malam, memercayai bulan dan awan-awan yang beterbangan.
Satu purnama.
Dua purnama.
Tiga purnama.
"Ada apa?"
Aku pernah bersaksi bahwa meski kau seperti musim; yang mana panas membuatmu tak tersentuh, dingin membuatmu beku, hujan membuatmu keruh, dan gugur membuatmu jatuh. Aku tetap mencintaimu sekuat aku mengingatmu.
Semua pertanyaanku menggantung di sana, seperti daun-daun kering yang menunggu angin membawanya jatuh ke tanah.
"Tidak ada."
Lalu aku ingat, kau dan musim-musim itu tak jauh berbeda. Berubah-rubah.
Tanpa sepatah kata, aku pergi. Ke jalan buntu ataukah jurang, aku tak ingin kau peduli.
Setelah ini aku ingin ikut terjatuh.
Diterpa angin kemudian diguyur hujan. Biar badanku membusuk di tanah, menjadi jejak yang tak pernah kau lupa ... atau telah kau temukan penggantinya.
Kita dipertemukan saat langit sedang bingung, tidak dengan Agustus. Hujan akhirnya turun, tak hanya di segala sisi tapi juga di hati.
Cukup hujan yang menggenang, cerita kita jangan.
•••
Masih banyak yang ingin kuceritakan, tapi aku sedang berusaha melupakan. Kuharap setelah ini semesta berbaik hati dengan meniadakan pertemuan. Kuharap aku bisa melepaskan apa yang memang tak pernah diberi untuk kusimpan. Kuberharap kesembuhan.
Photo by Tobias Bjørkli
Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa ❤
Komentar
Posting Komentar