Anak Ibu terbangun;
Dari mimpi buruk tentang kehilangan, napasnya tak beraturan tenggorokannya kehausan. Tangis di pipinya berkejaran meminta pertolongan, kali ini dia datang setelah lama menghilang. Kali ini dia datang sekaligus mengucapkan perpisahan. Kali ini, anak Ibu takut mimpinya kenyataan.
Anak Ibu berdoa kepada Tuhan;
Di depan jendela, tangannya terbuka matanya sembab memerah. Bibirnya gemetar menyebut nama yang sudah ia hafal di luar kepala, nama yang shubuh saja sudah bosan mendengarnya, tapi ia tahu Tuhan tak pernah digambarkan tuli dan buta; aku ingin bercerita, Tuhan. Tentang dia yang kau mungkin sudah akrab dengan namanya. Kalau kemarin-kemarin aku mengadu tentang bahagia, sekarang beda. Bolehkah kau bocorkan rahasiamu? Sedikit saja, misal apakah nanti dia akan pergi juga? Atau tetap tinggal? Kau adalah sebaik-baiknya alasan pertemuan dua asing hingga salah satunya menyimpan rasa, tidakkah kau kasihan, Tuhan? Di sepertiga malam, anakmu ini terbangun, di kepalanya terbentang luas ketakutan kehilangan orang yang sebenarnya, bukan siapa-siapa. Setiap hari, selain harapannya ada ketakutan yang ikut tumbuh membesar. Bagaimana bisa kau tuntun hati ini pada tempat yang salah? Bolehkah aku egois dalam meminta? Tuhan, jika memang ini berakhir persis seperti apa yang aku khawatirkan, tolong, kuatkan dan titipkan aku alasan untuk tetap bersyukur akan ujian yang kau berikan. Seperti yang sering kukatakan di akhir ceritaku sebelum-sebelumnya; apa pun yang terjadi buatlah sebaik mungkin tanpa ada berat sebelah, sebab bahagianya bahagiaku juga.
Anak Ibu menutup doa;
Air matanya mengering di sana, khawatirnya hilang sudah, puas ia bercerita. Satu hari lagi ... semuanya akan baik-baik saja.
Photo by Irina Iriser
Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa ❤
Komentar
Posting Komentar