Langsung ke konten utama

Menebus





Malam ini dadaku kembali sesak. Entah, rasanya kali ini ada yang ingin dikeluarkan. Biasanya, kalau begini aku akan memberi tahumu lalu pembicaraan sederhana kita akan membuatku tenang. Sebab, pernah sekali kusebut bahwa kau adalah ... rumahku. Tapi tidak, tidak, sekarang bukan lagi masanya kau terselip antara di kalimat-kalimat manisku.  

•••

Ingat saat aku menceritakan mimpi burukku Desember kemarin? Iya, cerita itu bukan sekedar mimpi sekarang. Bukan hanya langit kita yang terpisah, kini kita juga. Aku tahu, kita berdua tahu, janji itu pernah terucap. Tapi bagaimana dengan semesta yang pada dasarnya tak ingin kita berlama-lama berbagi cerita? Entah, sedang tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tak perlu banyak hal (lagi) untuk membuktikan bahwa aku, benar-benar harus menyudahi dan pergi. 

Mungkin aku berutang maaf sejak menghilang tanpa memberitahumu terlebih dahulu, tapi aku berhak hidup tenang dan aku tak menyesali apapun. Memang, denganmu aku merasa lebih hidup, tapi hidup di antara rasa sakit apa masih dikatakan hidup? 

Terakhir kulihat, kau baik-baik saja. Memang begitu seharusnya.

Lalu, ketika aku menghilang dari ingatanmu dan tergantikan dengan yang baru. Aku tak berharap kau menemukanku di tempat-tempat di mana cerita-cerita kita pernah membawamu, aku tak berharap lagu-lagu itu membuatmu mengingatku, aku tak berharap langit malam membuatmu mengingat bagaimana kita pernah menghabiskan waktu, aku tak berharap demikian sebab aku masih di sini. Kesusahan melupakan apa yang pernah kau berikan saat yang kupunya hanya ... kau.

Kau pernah setuju saat kukatakan aku benci perpisahan. Aku benci bagaimana aku masih di sini dengan semua obrolan kita yang kini menjadi satu arah. Aku benci ketika hari ini dengan bangganya aku mengatakan pada beberapa temanku bahwa aku telah berdamai denganmu, lalu keesokan harinya, aku menemukan diriku menangis di pojok kamar dengan kenangan yang kau sisakan di segala sisi. 

Kau adalah puas dan tak ikhlas dalam satu waktu.

Aku masih di sini, belajar kembali mencintai bau kamarku yang kadang-kadang menyerupai dinginnya malam Oktober. Tidak terlalu menusuk tapi ada nyaman sekaligus kesedihan di sana. Juga lagu-lagu yang pernah kau kirim agar kudengar, aku masih berusaha mendengarnya tanpa ikut tenggelam dalam air mataku. Langit malam itu pun kadang-kadang tak ingin kulihat sebab bintang-bintang itu tak pernah gagal membuatku teringat kembali. Saat harapan pertamaku di bintang jatuh pertamaku, hanyalah tentang bahagiamu. Di ujung malam, aku masih belajar tertidur meski belum berbagi cerita denganmu, menanyakan bagaimana harimu, dan mendapat selamat tidur semoga tidur nyenyak darimu. Di pagi hari aku masih belajar baik-baik saja ketika yang kuingat pertama kali adalah dirimu, ketika sesak di dada menahanku dan mulutku seakan ingin meneriakkan namamu.

Semenjak tak ada lagi kita, anehnya semuanya serasa masih ada kau di sana, dan aku dipaksa harus belajar menerimanya. 

Aku masih sedang belajar mencintai alasan kepergianku dan diriku sendiri dan berhasrap sakit ini akan terbayar nanti.

Terbiasa tanpamu itu sulit, bisa kukatakan.

Aku masih di sini dengan pertanyaan bodoh setiap harinya, dengan perasaan ingin kembali tapi aku tak ingin hancur lagi.

Kau itu. Rindu dan benci dalam satu waktu, yang membunuh. 

Lihat saja, dalam tulisan ini aku tak tahu harus merayakan apa. Kepedihan atau kebahagiaan. 

Aku tak berharap kau merindukanku, aku hanya berharap aku sebahagia dirimu yang terakhir kali kuingat. 

Kepergianku adalah penyeselan, tapi melegakan.

•••

Kalau saja nanti semesta mau berpihak ke padaku dan kau menemukan tulisan ini. Tulisan ini tak lain hanya caraku menebus diamku, tak ada lagi "hubungannya" denganmu.

25 September '20

Photo by mododeolhar




Terima kasih sudah mampir! 
love,  Octa ❤







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegundahanmu pada Musim-Musim itu

Untukmu; Musim-musim itu menjadi jawaban atas pertanyaanmu. Kau berganti bukan berarti hati ini ikut berotasi, bunga dan daunmu layu mati tak menjadi alasan agar aku mulai mencari, kau adalah kau; yang tak akan pernah kudapati walau keujung bumi kuberjalan kaki, mengurai layar arombai melawan badai berpayung langit berapi-api, menelusuri ceruk-ceruk sungai hingga landai ardi kudaki, menaiki langit tetap kau tak bisa kuraih. Sebab kau, adalah sebanyak-banyaknya harta berharga, kau yang paling bernilai. Tak perlu ragu, aku tak memuja deretan bunga di kepalamu, aku mencintai akar-akar itu, akar-akar tak kasat mata di bawah tanah yang selalu membuatku candu, di mana semua kebahagiaan serta kekhawatiranku menuju. Kau tak harus membenci musim gugur sebab membuat bungamu berhambur di tanah gersang. Tangkai-tangai kurus yang membuatmu berang, sungguh, membuatku semakin penasaran, aku rela mempelajari setiap yang kutemukan; lalu belajar mencintai hal-hal yang kau khawatirkan, yang k...

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Rumah; Potongan Yang Hilang

    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.     Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.    Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.    Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar ki...