Langsung ke konten utama

Yang Tak Terdengar







Saya telah melepas, belajar ikhlas, dan beradu dengan segala bekas-bekas luka yang masih terus terkelupas.

Segelas dua gelas tak lagi menjadi pelarian saat jiwa memanas
Selinting bukan lagi menjadi peredam saat hanya mati yang tergambar jelas
Saat tidur tak lagi tentang pulas
Saat sakit terus menggilas tak mengenal puas
Sendirian, harap-harap cemas dengan bahagia yang hampir tewas.

Saya ingin berlari ke ujung bumi
Di mana tak ada yang tau tentang nama ini
Segala cerita biarlah tetap tersembunyi
Tak ada yang perlu mencari sebab hilang cara saya menikmati perih dan pedih
Ramai tapi sepi enggan pergi
Menemani sampai tak ada lagi suara selain hasrat ingin mengakhiri.

Saya ingin menghilang seperti bayang kala terang datang
Pelan-pelan meninggalkan cangkang
Tak ada yang menggenang dan menyisakan isakan panjang
Di antara angin terbang hingga memeluk bintang
Kemudian terjatuh tanpa ada yang harus mengenang
Sebab yang dulunya tak pernah benar-benar ditemukan akan kembali hilang.

Saya ingin melupakan apa yang terus menahan
Menolak apa yang datang serta melepas apa pun di tangan
Tidak sekali-kali ada kata merelakan sebab paksaan adalah jawaban
Di saat tak ada pilihan selain menerima kenyataan
Berhenti memegang pada temali yang semakin menegang.

Pergi tanpa melihat ke belakang lagi
Melupakan seperti hari di mana bahagia seakan abadi.



•••


Terima kasih sudah membaca!
Love, Octa ❤



Gambar oleh Imu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Rumah; Potongan Yang Hilang

    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.     Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.    Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.    Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar ki...