Langsung ke konten utama

Tiga Jari







Kuangkat tiga jari, kau mengangguk mengikuti. Aku terlambat mengerti sedang kau sudah lama belajar memahami, kau menjadi pengabai sebab telah lama kau menahan pedih dan sakit hati. Apa pun tentang kehilangan kini tak lagi berarti, bertahun kau menangisi. Aku masih mencari pagi sementara kau melambai pada senja di ujung bumi.

Seperti kau yang kadang-kadang bingung dengan langitku yang mendung dan langit di atasmu matahari masih sibuk menggantung. Kau sudah di ujung, kaki kecilku masih terluntang-lantung mencari pijakan sama bingung—ke mana aku akan dituntun?

Kau adalah kau yang membenci sendiri dan sedang mencari kursi untuk duduk bersama menikmati sepi. Akan kutemani, kita akan bercerita sepanjang malam hingga pagi. Ceritakan apa pun, tanpa terkecuali.

Aku punya beberapa kenangan dan kau suka mengenang, kemarilah. Kita bisa berdiam di kekosongan, ceritakan padaku apa yang membuat api di sekujur hatimu padam hingga di sekitarnya hanya ada temaram, dingin menikam, dan luka-luka lebam.

Lalu akan kuceritakan bagaimana hati dinginmu memicu api di dadaku, di rongga jiwa yang telah lama beku. Kita menyatu mengalahkan lampau. Kau adalah kau dengan api biru di sekujur badanmu.

Kita berjalan menuju hari di mana tak ada lagi takut kehilangan, kesepian, kedinginan, dan kegelapan.

Kuangkat satu jari, kau mengangguk mengikuti. Tujuan kita kini hanyalah satu—saling memiliki, menjaga nyala api agar tak mati.







Terima kasih sudah membaca!
Love, Octa ❤


Gambar oleh Alexander

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Kegundahanmu pada Musim-Musim itu

Untukmu; Musim-musim itu menjadi jawaban atas pertanyaanmu. Kau berganti bukan berarti hati ini ikut berotasi, bunga dan daunmu layu mati tak menjadi alasan agar aku mulai mencari, kau adalah kau; yang tak akan pernah kudapati walau keujung bumi kuberjalan kaki, mengurai layar arombai melawan badai berpayung langit berapi-api, menelusuri ceruk-ceruk sungai hingga landai ardi kudaki, menaiki langit tetap kau tak bisa kuraih. Sebab kau, adalah sebanyak-banyaknya harta berharga, kau yang paling bernilai. Tak perlu ragu, aku tak memuja deretan bunga di kepalamu, aku mencintai akar-akar itu, akar-akar tak kasat mata di bawah tanah yang selalu membuatku candu, di mana semua kebahagiaan serta kekhawatiranku menuju. Kau tak harus membenci musim gugur sebab membuat bungamu berhambur di tanah gersang. Tangkai-tangai kurus yang membuatmu berang, sungguh, membuatku semakin penasaran, aku rela mempelajari setiap yang kutemukan; lalu belajar mencintai hal-hal yang kau khawatirkan, yang k...

Bisikan Angin

Kita dipertemukan di antara Januari dan Mei, pada hari-hari di mana matahari sedang dilanda bingung dan awan-awan tetap di sana mematung. Kala itu hujan tak kunjung turun sementara angin terus berbisik pada daun-daun kering yang bergantung.  Setelah ini bukan hanya kau yang akan jatuh. Sedikit aneh, keluhmu hati-hati. Masih bulan ke dua dan langit sudah kebingungan sekali. Musim-musim itu, kau menyebutnya mendung mesra. Pernah terlalu dingin untuk dinikmati seorang diri, lalu sekarang kau bisa menyusuri jalan dengan empat kaki dan aku tak perlu menghitung jejak yang tertinggal lagi. Jauh di depan sana, aku tahu ada banyak musim yang akan kita lalui. Rumah-rumah yang akan kita singgahi untuk sekedar menyaksikan para tuan-tuan itu berkelahi, menyayangi, menemani, dan mati. "Bagaimana jika hujan menghapus jejak-jejak kita?"  "Tidak akan hujan, langit sedang kebingungan." Kau adalah kau yang sedingin hujan dan setenang genangan yang ia tinggalkan. Jika ditan...