Langsung ke konten utama

Namamu adalah Namaku




Tak ada yang membuatmu berlama-lama menutup mata, menerawang jauh pada masa di mana kau takut akan menjadi pelupa dan tak punya apa-apa. Selain kamarmu, tempatmu menjadi dirimu tanpa takut dicela dunia.

Pernah sekali kutanya; kenapa terlalu betah?
Kala itu, guratan tajam berlapis di antara pelipismu, sudah menahanku kembali bertanya.
Kudengar napas kasar menjalar di antara udara, seakan kau sudah lama terjebak di pikiranmu sendiri. Tanpa siapa-siapa kecuali hasrat ingin berlari, mengakhiri, dan mati.

Matamu seakan memintaku masuk lebih dalam, melihat jutaan cahaya kunang-kunang yang telah padam, anehnya di sana selalu malam. Hingga kusadari, kunang-kunang malang sudah kelelahan. Terbang pun kesusahan, sayap-sayapnya kuyup akibat kebanjiran. Oleh pejam matamu, mengalir jauh ke dadamu. Membentuk danau membentang, sekali lagi aneh kukatakan. Ikan-ikan di sana tetap berenang meski air tak tenang, deras arus menjadikannya goyang, dan angin kencang membuat pohon di sekitarnya tumbang.

Ada tembok, katamu. Kau terkurung jauh dari kerumunan berpasang-pasang orang, yang menganggapmu beda, selalu begitu sampai kau merasa tak pernah sama, sampai kau merasa tak perlu ke sana. Bersama mereka yang terlalu sama tak juga beda, cukup beda disebut sama.

Diammu, ragumu, siapa namamu? Jika tak ada, akan kupanggil kau dengan namaku.

Tunjukan lebih banyak kegelapan padaku, lebih banyak dari yang sudah membuat kakiku tersandung dan jiwaku meraung-raung.
Aku tak ingin kau duduk sendirian di sana.
Dengan pikiran melayang, menganggap kau adalah kesalahan, membenci apa yang membuatmu dilahirkan, dan terus mengulangi penyesalan.

Biarkan kutemani, kubawa kau pergi. Sebab aku mencintai bukan membenci, aku ingin kau berhenti mencaci diri sendiri, membuat biru semakin membiru di hati. Kuulangi sekali lagi, aku mencintai.

Orang percaya, takdir adalah takdir, tapi bagaimana jika kita yang memilih untuk saling melengkapi? Bagaimana jika kau adalah apa yang kucari, dan aku adalah apa yang kau cari? Kita sudah dipertemukan di satu hari, saat aku tak lagi peduli apa pun kecuali—tentangmu, apa pun tentang sosok yang menguasai kepala dan hati.

Ceritamu dan ceritaku menjadi sebuah sejarah, di mana dua kekosongan belajar menemukan, lalu mencintai kehilangan. Menjadikannya cara terbaik menyusun alasan untuk menetap di masa yang akan datang.

Namamu adalah namaku, ceritamu adalah ceritaku. Tak ada kau dan aku. Hanya kita, selalu.

•••



Terima kasih sudah membaca!
Love, Octa ❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Detak

Saat di mana kita saling memberi pundak untuk sekedar meringankan beban dan sepasang telinga untuk merekam setiap keluhan. Tangan yang selalu terulur untuk menghapus jejak tangisan, memberi tanpa mengingat imbalan, bergandengan bersama menyusuri jalan, saling memeluk seakan hari itu adalah hari terakhir kita berkenalan sekaligus mengucap perpisahan.  Bagaimana kita tertawa hanya karena hal-hal sederhana, tertawa sebab kita merasa bahagia bukan karena ada luka yang sedang dijaga. Kala itu, hari seakan tak ada habisnya sebab kita tak pernah menyinggung perihal esok lusa. Sedih dan pedih tak pernah berlama-lama di sisi sebab kita saling memiliki. Di penghujung hari, kita selalu punya rumah untuk disinggahi, untuk saling mengisi dan menangisi.  Langkah-langkah kaki kini terbagi, jalan kita tak sama lagi. Tapi satu yang pasti, di masing-masing hati, ada rumah yang tak pernah mati.  Rumah itu berdetak.... Terhalang jarak Terus berdetak Sampai kita berkumpul serentak...