Langsung ke konten utama

Mahoni




Di tempat favoritmu, kau duduk. Samar terdengar ada yang mengetuk, memaksa ingin masuk. Kau sudah tau, ia datang seperti cepatnya rasa kantuk memeluk yang kemudian menjadi mimpi buruk.

Di depan jendela yang usianya hampir sama dengan pohon mahoni di sana. Kau menyaksikan reranting tak bergeming, menolak ajakan angin bermain. Seperti ia tau, kau sedang ingin dipeluk rasa dingin.

Daun-daun mahoni itu berwarna tanah bercampur jingga, mengingatkanmu pada tangkai tua yang hampir habis termakan usia. Banyak yang telah berubah, tapi mahoni tua merekam semuanya.

Kurang lebih 4 tahun yang lalu, kau duduk di tempat yang sama. Di badanmu, tergambar siluet dahan-dahan mahoni yang disirami senja. Kala itu langit sedang kebanjiran warna. Warna jingga yang memeluk hangat dirimu, hingga menjadi peluh. Kau mengeluh sebab separuh langit yang biru, turun di kedua matamu. Menjadikan ragu dan pilu menjadi satu di dadamu.

Pukul 4 lebih, penghujung bulan ke-5, 2016.
Kau ingat betul buku besar berwarna biru, bermotif garis tak padu, yang diberikan Ibumu. Yang kau jadikan tempat peraduan setiap waktu. Tentang pertemuan dan perasaan yang kau semunyikan, berbulan-bulan sebelum kau paham, kau telah menjebak dirimu di lingkaran kepedihan.

Di sana tertulis beberapa kata dengan tinta yang hampir sirna. Kau menyebutnya; senja yang rumit.

Di barisan ke dua, kau yakin telah kehilangan sesuatu; bahwa ada sesuatu yang hilang dariku ... telah pergi ... meninggalkanku.
Lalu kau mengajak langit berdoa, agar siapa pun dia, selalu bahagia. Hatimu kala itu masih bersih, sudah ditimpa puluhan rasa pedih.

Berkali-kali daun mahoni berganti, dari hijau muda hingga cokelat tua, sampai kembali mengecup sepinya tanah. Kau bertanya kapan semesta berpihak padamu yang selalu percaya dan percaya, hari baik akan tiba.

Hingga musim gugur menerbangkan buah mahoni, yang pahitnya membanjiri rumahmu. Menggilas habis harapan, menggantinya dengan kenyataan, lalu membuatmu bungkam dengan kepedihan.

Kau dipaksa menelan habis rasa pahit, seluruh rongga dadamu menjerit, menganga kembali luka-luka yang belum selesai kau jahit.

Hari itu, rasanya baru kemarin. Kau menangis tanpa air mata, memandangi siluet kepala yang kau tempelkan di dada. Tak ada sepatah kata yang mampu membuatmu berjeda, sebab lukamu, teramat dalam dan lara.

Di barisan ke tiga, kau membuat tanda. Bahwa kau menangis, hatimu terkikis saat kenangan kembali menitis. Kau menceritakan bagaimana suara itu masih tinggal di kepalamu, bahkan menjadi lagu kesukaanmu; suara tawanya masih teringat, tulismu kala itu.

Di barisan terakhir, kau pasrah kau telah tabah. Apa pun terjadi terjadilah, sebab di sana kau terlihat berdoa; semoga kau selalu bahagia.

Lambat laun, kau menyadari. Mahoni itu benar tentang orang-orang yang sedang kau kenang. Seperti musim, mereka berubah-rubah.

•••

04 Februari 2020
Kembali kuingat, waktu itu temanku menunjuk mahoni yang hampir hilang di gelapnya malam, lalu berkata, "lihat siluet dahan itu, mengingatkanku pada dia." Lalu aku bertanya, sebab aku benar-benar tak tau apa hubunganmu dengan mahoni. "Berubah-rubah," katanya lagi. Kemudian tawa kecil kami hilang di keheningan.



Terima kasih sudah membaca!
Love, Octa ❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Rumah; Potongan Yang Hilang

    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.     Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.    Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.    Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar ki...