Langsung ke konten utama

Rumah; Potongan Yang Hilang






    Tanah gersang itu kekeringan. Di mana-mana kerikil bertebaran, air tak menggenang, panas terik selalu berteman dengan rumput-rumput kering, yang sedang menunggu pijakan kaki pejalan.

    Kemudian, setelah berbulan-bulan kesepian, hujan datang membawa pelangi panjang. Ada harapan yang membentang setinggi gulungan awan di sisi selatan, memintaku membangun tempat untuk berpulang. Kaki-kaki kecil ini sempoyongan menyusuri jalan, tangan rentan mendulang kerikil-kerikil ringan dengan pelan.

   Rumah yang kubangun di hamparan hati paling dalam, memintaku terus menghitung kesabaran, hari demi hari aku menguatkan diri dari segala penghalang, yang sewaktu-waktu bisa membuatku angkat tangan.

   Mulai dari batu-batu kecil yang berhamburan, kuhitung agar tak lebih juga kurang. Supaya pondasi yang akan kubangun, takkan kebanjiran dengan air mata pertengkaran. Tiang-tiang sepanjang mata memandang, kupastikan kuat diterjang angin kencang. Agar kita tak tumbang saat badai mematikan menyerang. Tembok selebar harapan kudirikan tinggi menjulang, sengaja agar mengalahkan segala musim yang kadang-kadang tak mau tau keadaan; hujan saat kau kedinginan, atau kemarau beringsang saat kau sedang kepanasan. Tak akan kubiarkan siapa pun menghancurkan, sebab kau satu-satunya tempatku merasa aman ketika pulang.

   Rumah yang sedang kubangun, adalah rumah yang memintaku terus berkejaran dengan kenyataan, bertengkar dengan harapan.

   Sekarang, aku kelelahan. Rumah itu bukan arca yang bisa berdiri sendiri semalaman, ia memintamu ikut menghitung kesabaran, bukan malah menambah beban. Bolehkah kupinta uluran tangan? Sebab, atap rumah kita belum juga terselesaikan, dinding kupasang sedang bintang-bintang bisa meratakan dari langit malam, amukan semesta bisa membuat harapan kita padam.

   Sebab, aku tak sabar. Menanam sembilan melati di halaman depan, mengecat warna kesukaan di berbagai ruangan, menggantung lukisan dan foto kenangan. Lalu di atas ayunan, kau menceritakan padaku bagaimana harimu tak sesuai angan, bagaimana hidup tak adil memberimu ujian, dan aku akan selalu mengajakmu menghitung kebahagiaan, bahwa hidup bukan tentang menyalahkan, tapi belajar menemukan cara tersederhana untuk merasa senang di tiap keadaan.

   Di balik jendela, kau juga menjelaskan bagaimana awan bisa berubah potongan, bagaimana cara kita membuat permohonan pada bintang-bintang, kau mengingatkan bahwa hujan adalah alasan bersyukur pada Tuhan, dan menghitung pasir di tanah kala kita bosan.

   Tapi, di antara semua itu, tak ada yang lebih penting dari hadirmu, kau adalah alasan ternyaman yang membuatku betah memecah waktu seharian. Sebab kau, tanpa kau, rumah kita tak akan pernah terselesaikan. Sebab kau, potongan hilang yang telah kutemukan.

   Bagaimana sekarang?

   Mau membangun rumah bersamaku?
Aku selalu menunggu, siap atau tidak, aku selalu menunggu di sisi rumah tak bergenting, menghitung kesabaran berharap kau tak lama memberi kepastian.


•••

Untuk kamu yang sedang memperjuangkan seseorang, jangan menyerah sebelum membawa pulang kemenangan!

Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

Menyelami Luka dan Trauma Yanto dalam Wandu Karya Lentera Langit – Cerita dari Data.

Belum lama ini, Geothe Institut, Gramedia writing project, dan Elex Media telah membuat program kolaboratif yang mengambil inspirasi koleksi gambar dan teks, dari institusi GLAM (Galleries, Libraries, Archives, and Museums) yang kemudian melahirkan buku luar biasa berisi 178 halaman, yang memuat sepuluh cerita pendek terbaik karya penulis terpilih. Dengar-dengar, project ini juga ikut serta menjadi bagian dalam acara Festival Retas Budaya.  Cerita dari Data , begitulah mereka menamai buku tersebut. Nah, di dalam buku itu terdapat cerita pendek berjudul Wandu , yang akan menjadi fokus saya dalam tulisan ini. Tapi sebelumnya, saya ingin sangat berterima kasih kepada Kak Lentera Langit, karena telah mengangkat isu ini ke dalam cerpennya. Big shout out to you , Kak. Juga semua tim yang ada di "balik layar", kalian benar-benar keren. Wandu, isu yang diangkat mungkin masih terdengar tidak biasa, tapi hal luar biasa sekali bisa melihat sudah banyak dari kita ...

Detak

Saat di mana kita saling memberi pundak untuk sekedar meringankan beban dan sepasang telinga untuk merekam setiap keluhan. Tangan yang selalu terulur untuk menghapus jejak tangisan, memberi tanpa mengingat imbalan, bergandengan bersama menyusuri jalan, saling memeluk seakan hari itu adalah hari terakhir kita berkenalan sekaligus mengucap perpisahan.  Bagaimana kita tertawa hanya karena hal-hal sederhana, tertawa sebab kita merasa bahagia bukan karena ada luka yang sedang dijaga. Kala itu, hari seakan tak ada habisnya sebab kita tak pernah menyinggung perihal esok lusa. Sedih dan pedih tak pernah berlama-lama di sisi sebab kita saling memiliki. Di penghujung hari, kita selalu punya rumah untuk disinggahi, untuk saling mengisi dan menangisi.  Langkah-langkah kaki kini terbagi, jalan kita tak sama lagi. Tapi satu yang pasti, di masing-masing hati, ada rumah yang tak pernah mati.  Rumah itu berdetak.... Terhalang jarak Terus berdetak Sampai kita berkumpul serentak...