Langsung ke konten utama

Perahu Kertas




Aku terlalu perasa sedang hatimu bangkar bagai bata

•••

Setelah cukup berani, setelah cukup lama aku menutup hati, tawaranmu membelah dunia bersama kuakui mampu membuatku melupakan sakit-sakit yang belakangan hampir  pulih.

Kau tawarkan perahu, Sayang, katamu kita akan melihat samudera dengan mata telanjang. Katamu ikan-ikan itu ikut senang. Katamu langit malam itu penuh bintang. Katamu kita akan pergi ke tempat jauh sejauh-jauhnya harapanku akan berpulang. Kemudian aku percaya sebab di tanganmu terbentang peta-peta lapang, sebab kau bisa membaca angin barat, timur, dan selatan. Tanpa berpikir panjang, kulangkahkan kaki menaiki perahumu dengan harapan akan sampai ke daratan atau setidaknya kita tak mati di perjalanan. Raguku tak terbaca, Sayang.

Nyatanya, kau tak beda dari nahkoda yang sebelumnya menghilang. Perjalanan panjang yang kupikir akan penuh kebahagiaan, bertemu orang-orang dan membawa pulang sekantung penuh pujian, hancur bahkan sebelum kesampaian. Yang kau perlihatkan, pemandangan penuh kebohongan, Sayang. Lautan kelam dengan ikan-ikan mati keracunan, gulungan ombak tanpa ampunan, badai tak kenal belas kasihan, langit malam penuh kesunyian bahkan bulan tak sudi menampakkan badan. Harapanku tak lain hanyalah petaka yang membawa luka-luka berkepanjangan. Peta yang kau perlihatkan semuanya mengarah pada palung-palung dalam tak berujung, semuanya akal-akalan dan kau menyangkal telah melakukan kesalahan. Kau buta mata angin, Sayang. Terbit-tenggelam matahari saja kau tak pernah paham. Tak pernah ada daratan, yang kau inginkan hanyalah tersesat entah-berantah di atas lautan. Raguku terbukti, Sayang.

Harusnya sedari awal aku paham, perahu megah yang kau ceritakan hanyalah lipatan kertas mudah hancur berserakan. Lautan indah yang kau janjikan tak lain hanyalah genangan air hujan. Perjalanan yang kau janjikan adalah ujian panjang yang tetap menetap di ingatan.

Lalu bagaimana sekarang? Aku bertanya bagai orang bodoh. Jelas aku takut lautan dalam, jelas aku tak tau berenang, jelas aku tak tau jalan pulang. Semuanya tak terpikirkan.

Dan di sini, aku sendirian menunggu siapa pun yang sudi mengantarku pulang.








Terima kasih sudah mampir!
Love, Octa ❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegundahanmu pada Musim-Musim itu

Untukmu; Musim-musim itu menjadi jawaban atas pertanyaanmu. Kau berganti bukan berarti hati ini ikut berotasi, bunga dan daunmu layu mati tak menjadi alasan agar aku mulai mencari, kau adalah kau; yang tak akan pernah kudapati walau keujung bumi kuberjalan kaki, mengurai layar arombai melawan badai berpayung langit berapi-api, menelusuri ceruk-ceruk sungai hingga landai ardi kudaki, menaiki langit tetap kau tak bisa kuraih. Sebab kau, adalah sebanyak-banyaknya harta berharga, kau yang paling bernilai. Tak perlu ragu, aku tak memuja deretan bunga di kepalamu, aku mencintai akar-akar itu, akar-akar tak kasat mata di bawah tanah yang selalu membuatku candu, di mana semua kebahagiaan serta kekhawatiranku menuju. Kau tak harus membenci musim gugur sebab membuat bungamu berhambur di tanah gersang. Tangkai-tangai kurus yang membuatmu berang, sungguh, membuatku semakin penasaran, aku rela mempelajari setiap yang kutemukan; lalu belajar mencintai hal-hal yang kau khawatirkan, yang k...

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

20 Desember 2019

Anak Ibu terbangun; Dari mimpi buruk tentang kehilangan, napasnya tak beraturan tenggorokannya kehausan. Tangis di pipinya berkejaran meminta pertolongan, kali ini dia datang setelah lama menghilang. Kali ini dia datang sekaligus mengucapkan perpisahan. Kali ini, anak Ibu takut mimpinya kenyataan. Anak Ibu berdoa kepada Tuhan; Di depan jendela, tangannya terbuka matanya sembab memerah. Bibirnya gemetar menyebut nama yang sudah ia hafal di luar kepala, nama yang shubuh saja sudah bosan mendengarnya, tapi ia tahu Tuhan tak pernah digambarkan tuli dan buta; aku ingin bercerita, Tuhan. Tentang dia yang kau mungkin sudah akrab dengan namanya. Kalau kemarin-kemarin aku mengadu tentang bahagia, sekarang beda. Bolehkah kau bocorkan rahasiamu? Sedikit saja, misal apakah nanti dia akan pergi juga? Atau tetap tinggal? Kau adalah sebaik-baiknya alasan pertemuan dua asing hingga salah satunya menyimpan rasa, tidakkah kau kasihan, Tuhan? Di sepertiga malam, anakmu ini terbangun, di kepal...