Langsung ke konten utama

Hujan dan Kenangan


Hujan reda menyisakan genangan, manusia pergi menyisakan kenangan




 
•••

Apa sih hujan itu? Kenapa dia selalu disangkut-pautkan dengan kenangan, rebusan mie instan, atau parahnya lagi, janji-janji mantan?

Hujan itu terbentuk karena—eits, saya nggak bakalan jelasin soal terbentuknya hujan, kenapa? Ya kan saya bukan guru ipa 😶 yo wes, lanjut~

Hujan, siapa yang nggak suka hujan? Kebanyakan manusia biasanya suka hujan, kecuali emak-emak yang baru nyuci, terus jemur pakaian. Ya jelas ngomel-ngomel lah, wong pakaian masih basah, dikasih air lagi, kapan keringnya, Markonah.

Saya suka hujan, apalagi hujan di pagi hari, rasanya tenang sekali. Biasanya saya suka liatin hujan dari balik jendela, sambil sok-sokan galau merana, berkhayal sedang dalam video klip lagu putus cinta, berasa jadi orang tersedih di dunia.

Tapi, itu dulu, sebelum hujan tumbuh menjadi bocah ribet yang sangat malas saya dekati, apalagi berurusan dengannya. Hujan sekarang jadi nggak asik, sebab dia selalu membuat saya mengingat hal-hal yang semestinya sudah saya tempatkan di luar kepala. Hujan, selalu punya cara untuk membuat saya tenggelam dalam kesedihan, seperti ... dia tahu kapan saya harus mengingat semua kenangan yang sudah aman di tempatnya, lalu mengajak saya bermain. Sedikit banyak yang saya ingat. Saya mendapati diri ini sebagai orang paling sedih di muka bumi beberapa saat kemudian.

Hujan itu, selain aromanya kuat, kenangannya juga dahsyat mengikat—untuk saya yang hatinya gampang terjerat, terjerat kenangan bersama orang-orang dekat, eh, ralat, maksudnya, dulu pernah dekat. Sekarang, bertemu saja kedua bibir sama-sama rapat, bahkan, sekedar senyum singkat serasa sangat berat.

Sesibuk apa pun, ketika dia—hujan—datang, kilasan-kilasan masa lalu kembali menghantui. Bukan perihal mie instan atau janji mantan. Memang ada perasaan yang saya temukan kala hujan datang. Perasaan itu susah ditebak, seperti, saya tiba-tiba saja teringat sesuatu yang jauh mengendap di sana. Ada yang mengganjal. Dan benar kata orang, hujan tanpa mengingat kenangan itu kurang lengkap.

Kamu, hujan, dan kenangan. Adalah musuh bebuyutan saya, kalian selalu saja menemukan cara untuk mengusik saya yang hanya ingin menikmati hidup 😶 dan kalau dipikir-pikir lagi, hujan itu sama sepertimu, hujan meninggalkan genangan dan kamu meninggalkan kenangan. Kenangan yang sangat kuat sekaligus melelahkan, kenapa begitu? Bayangkan saja, setiap turun hujan, hal-hal tentangmu selalu berputar di kepala, seperti piringan hitam tua, alunan melodinya tumpah ruah membanjiri kamar saya, bisa-bisa saya tenggelam, kabar buruknya saya nggak tahu cara berenang, kalau sudah begitu, habislah saya dikeroyok ribuan penyesalan dari masa yang saya kira sudah tenang. Kamu itu, pilihan yang sampai sekarang masih sering saya pertanyakan. Bisakah disalahkan jika saya memilih merelakan? Atau justru dibenarkan kalau seandainya saya mempertahankan?

Karena sudah terlanjur basah, mau nggak mau, saya terpaksa melewati semua genangan kenangan bersamamu, yang ternyata makin kuat saja 🙈

Well, baiklah, saya mengaku kalau hujan memang sangat pandai membuat saya—yang terlalu gampang tersentil dengan hal-hal sepele ini—tetap berada di zona nyaman, artinya saya belum move-on, 😶 no judging please~

Sebenarnya bukan hujannya, sih, tapi dengan siapa saya menghabiskan waktu kala turun hujan, dengan siapa saya makan mie instan kala turun hujan, dan dengan siapa saya membuat atau mendengar janji kala turun hujan. Hujannya cuma pengantar kenangan dan suasana hujan yang bikin saya jadi flash-back, lagi. Setelah berkali-kali.

Saya pasrah, pasrah dibawa oleh arus kenangan itu, entah ke mana tujuannya. Kadang saya tersangkut di penyesalan, di persimpangan penuh kekesalan, jembatan berisi perasaan kehilangan. Semuanya campur aduk, seakaan semua ini lelucon dan si Tuan Kenangan tertawa jahat di akhir perjalanan. "Kamu kalah," katanya dengan nada penuh kemenangan. Tinggallah saya dikerumuni rasa kasihan pada diri saya, yang gampang sekali dipermainkan oleh kehidupan.

Hujan itu bebas, nggak mengenal tempat di mana dia jatuh, nggak peduli ke mana orang akan berteduh, nggak mau ambil pusing soal orang yang lupa bawa payung, nggak mikirin perasaan emak-emak yang baru aja nyuci sarung buat dipakai suaminya beli kopi di warung, atau jomlo yang duduk murung, termenung, tiba-tiba saja dia—hujan—turun.

Kemudian, setelah lama sekali saya bermain-main dengan hujan, saya mendapat satu pelajaran. Bahwa hidup itu haruslah sebebas hujan; jatuh ya tinggal jatuh. Nggak ada alasan dan larangan, nggak ada pertanyaan dan pernyataan, yang ada hanyalah saya yang berdiri paling depan, penuh kepercayaan bahwa semua ini, kehidupan, bisa saya kalahkan.

Kalau hujan saja bisa bodoamatan, kenapa saya harus baperan?

•••

Kunci melupakan adalah merelakan, mengikhlaskan, dan berdamai dengan kenangan. Biarkan dia berada jauh di belakang, dia sudah aman. Tugasmu—tugasku juga—memikirkan yang sedang menunggu di depan. Yang suatu hari pasti akan menjadi kenangan.



Hujan di luar sudah berhenti, begitu juga tulisan ini. Saya harap, kita semua bisa hidup berdampingan dengan masa lalu.
Dan hujan, bisa lebih menyenangkan dari sebelumnya


Love, Octa ❤



Terima kasih sudah mampir 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegundahanmu pada Musim-Musim itu

Untukmu; Musim-musim itu menjadi jawaban atas pertanyaanmu. Kau berganti bukan berarti hati ini ikut berotasi, bunga dan daunmu layu mati tak menjadi alasan agar aku mulai mencari, kau adalah kau; yang tak akan pernah kudapati walau keujung bumi kuberjalan kaki, mengurai layar arombai melawan badai berpayung langit berapi-api, menelusuri ceruk-ceruk sungai hingga landai ardi kudaki, menaiki langit tetap kau tak bisa kuraih. Sebab kau, adalah sebanyak-banyaknya harta berharga, kau yang paling bernilai. Tak perlu ragu, aku tak memuja deretan bunga di kepalamu, aku mencintai akar-akar itu, akar-akar tak kasat mata di bawah tanah yang selalu membuatku candu, di mana semua kebahagiaan serta kekhawatiranku menuju. Kau tak harus membenci musim gugur sebab membuat bungamu berhambur di tanah gersang. Tangkai-tangai kurus yang membuatmu berang, sungguh, membuatku semakin penasaran, aku rela mempelajari setiap yang kutemukan; lalu belajar mencintai hal-hal yang kau khawatirkan, yang k...

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

20 Desember 2019

Anak Ibu terbangun; Dari mimpi buruk tentang kehilangan, napasnya tak beraturan tenggorokannya kehausan. Tangis di pipinya berkejaran meminta pertolongan, kali ini dia datang setelah lama menghilang. Kali ini dia datang sekaligus mengucapkan perpisahan. Kali ini, anak Ibu takut mimpinya kenyataan. Anak Ibu berdoa kepada Tuhan; Di depan jendela, tangannya terbuka matanya sembab memerah. Bibirnya gemetar menyebut nama yang sudah ia hafal di luar kepala, nama yang shubuh saja sudah bosan mendengarnya, tapi ia tahu Tuhan tak pernah digambarkan tuli dan buta; aku ingin bercerita, Tuhan. Tentang dia yang kau mungkin sudah akrab dengan namanya. Kalau kemarin-kemarin aku mengadu tentang bahagia, sekarang beda. Bolehkah kau bocorkan rahasiamu? Sedikit saja, misal apakah nanti dia akan pergi juga? Atau tetap tinggal? Kau adalah sebaik-baiknya alasan pertemuan dua asing hingga salah satunya menyimpan rasa, tidakkah kau kasihan, Tuhan? Di sepertiga malam, anakmu ini terbangun, di kepal...