Langsung ke konten utama

Unfinished Lullaby







Kalau ada ujian lalu aku ditanyakan tentang pahlawan, tanpa pikir panjang kutuliskan nama Ibu dengan gancang.

Bukankah Ayah yang harusnya menjadi pahlawan? Tanya mereka.

Dia pergi, jawabku, tidak mati hanya saja sudah tidak ada lagi. Pergi atas pilihannya sendiri dan alasan yang tak pernah kuketahui hingga saat ini.

Namanya masih jelas di ingatan, begitu juga dengan rupanya yang hanya kilasan di balik gambaran. Sosok yang sejak kecil kuketahui sebatas orang yang paling berjasa atas aku dan kelahiranku. Yang kemudian semakin tumbuh menjadi ratusan bahkan menyentuh ribuan pertanyaan. Tentang kenapa ia pergi, atas dasar apa ia meninggalkan ibu dan aku sendiri, siapa yang membuatnya melupakanku yang bahkan belum bisa memanggil namanya dengan fasih, apa dia jahat, apa dia pantas kubenci, apakah bisa dibenarkan jika aku marah pada orangtuaku sendiri. Dan banyak lagi pertanyaan yang kutampung sejak kecil—mungkin hingga kini.


Rindu akan sosoknya tak perlu ditanya, tiap-tiap malam sebelum tidur ibu selalu kehabisan cara membuatku diam karena terlalu banyak bicara tentangnya.  Dan saat aku mulai mengenal dunia luar, melihat teman sebanya bermain dengan ayahnya saling kejar-mengejar, diajari bersepeda oleh ayahnya sampai lancar, atau sekedar duduk berdua menghitung awan di atas tikar. Aku iri, orang yang harusnya bersamaku tumbuh dan besar, telah pergi sebelum aku mengenalnya dalam dan luar.

Dia harusnya ada ketika aku terjatuh dan lututku terluka, mengajarkanku menjadi anak hebat yang tidak cengeng dan takut darah. Dia harusnya ada kala aku ketakutan tiap malam sebelum tidur, menyanyikanku lagu atau sekedar bercerita hingga larut. Dia harusnya ada saat-saat aku pertama kali masuk sekolah, emeriksa pekerjaan rumah, memarahiku jika malas dan membantah, hingga aku membanggakannya sampai ia senyum semringah, sambil berkata. "Dia itu anak kebanggaanku." Pada dunia.

Semuanya kusimpan rapat-rapat dalam harapanku, semua keharusan itu hanyalah sebatas anganku. Hingga kini aku besar dan mengerti, tak ada pilihan tanpa alasan. Ia pergi bukan berarti tak sayang, hanya saja memang inilah takdir dan suratan.

Darinya aku belajar, seorang pahlawan tak harus selalu terlihat kala bahaya datang. Ada pahlawan yang selalu menolong di balik jubah besarnya, bersembunyi di belakang dinding, membuatku selalu merasa aman.

Seburuk apa pun keadaan, aku tak pernah berhenti melingkarkan permohonan pada harapan, agar kelak nyanyian pengantar tidur yang pernah ia lantunkan. Suatu hari entah kapan, akan terselesaikan


•••


Meski aku terkenal pengabai, jika sudah mengorek masa lalu, tak sempurna jika tak ada tangis berlalu. Entah angin apa yang membuatku kembali ke sana dan pulang dengan tulisan-tulisan ini.






Terimakasih sudah mampir!
Love, Octa.


*kuingat sajak D Zawawi Imron "Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu , yang kan kusebut paling dahulu."



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegundahanmu pada Musim-Musim itu

Untukmu; Musim-musim itu menjadi jawaban atas pertanyaanmu. Kau berganti bukan berarti hati ini ikut berotasi, bunga dan daunmu layu mati tak menjadi alasan agar aku mulai mencari, kau adalah kau; yang tak akan pernah kudapati walau keujung bumi kuberjalan kaki, mengurai layar arombai melawan badai berpayung langit berapi-api, menelusuri ceruk-ceruk sungai hingga landai ardi kudaki, menaiki langit tetap kau tak bisa kuraih. Sebab kau, adalah sebanyak-banyaknya harta berharga, kau yang paling bernilai. Tak perlu ragu, aku tak memuja deretan bunga di kepalamu, aku mencintai akar-akar itu, akar-akar tak kasat mata di bawah tanah yang selalu membuatku candu, di mana semua kebahagiaan serta kekhawatiranku menuju. Kau tak harus membenci musim gugur sebab membuat bungamu berhambur di tanah gersang. Tangkai-tangai kurus yang membuatmu berang, sungguh, membuatku semakin penasaran, aku rela mempelajari setiap yang kutemukan; lalu belajar mencintai hal-hal yang kau khawatirkan, yang k...

Journey; to the Past

Akhir-akhir ini entah kenapa saya lebih sering merenung dan kembali mengenang masa-masa yang sudah jauh tertinggal di belakang, seperti saya menemukan kehangatan yang dulu pernah hilang, tapi sudah tidak relevan dan sangat sulit dijelaskan di masa sekarang. Perasaan ini datang sangat kuat di pagi hari, kadang-kadang saya terjebak cukup lama di kamar sebelum berangkat kerja, mencoba menerka perasaan bahagia apa yang tiba-tiba ada namun pemicunya tidak tahu entah apa. Sedang kasmaran tidak juga, sedang menunggu kabar gembira tidak juga. Later on, perlahan saya mengerti dari mana datangnya perasaan nostalgia ini. Tumbuh besar di keluarga yang bisa dibilang hangat ketika memang sedang ada badai, dingin ketika percik-percik api mulai mendekati, saya selalu ingat di masa kecil dulu hampir tidak ada yang bisa disesali, bahkan kalau bisa sesekali saya ingin ke sana berjalan-jalan kembali. Tapi kita semua tahu, mesin waktu atau perjalanan melampaui masa lalu itu tidak benar-benar t...

20 Desember 2019

Anak Ibu terbangun; Dari mimpi buruk tentang kehilangan, napasnya tak beraturan tenggorokannya kehausan. Tangis di pipinya berkejaran meminta pertolongan, kali ini dia datang setelah lama menghilang. Kali ini dia datang sekaligus mengucapkan perpisahan. Kali ini, anak Ibu takut mimpinya kenyataan. Anak Ibu berdoa kepada Tuhan; Di depan jendela, tangannya terbuka matanya sembab memerah. Bibirnya gemetar menyebut nama yang sudah ia hafal di luar kepala, nama yang shubuh saja sudah bosan mendengarnya, tapi ia tahu Tuhan tak pernah digambarkan tuli dan buta; aku ingin bercerita, Tuhan. Tentang dia yang kau mungkin sudah akrab dengan namanya. Kalau kemarin-kemarin aku mengadu tentang bahagia, sekarang beda. Bolehkah kau bocorkan rahasiamu? Sedikit saja, misal apakah nanti dia akan pergi juga? Atau tetap tinggal? Kau adalah sebaik-baiknya alasan pertemuan dua asing hingga salah satunya menyimpan rasa, tidakkah kau kasihan, Tuhan? Di sepertiga malam, anakmu ini terbangun, di kepal...